EVAN 27

264 26 7
                                    

Sebuah pesan dari Arsyana sukses menciptakan kecamuk dalam hati. Dada tak hentinya riuh bergemuruh. Isi kepala dipenuhi pikiran dan pertanyaan tentang penyebab dia pergi begitu saja.

Arsyana membenciku?

Sebab apa dia tiba-tiba membenciku? Apa karena perkataan mami yang mungkin menyakiti hati dan perasaannya? Setahuku, dia tak akan pergi begitu saja tanpa membicarakannya terlebih dulu.

Aku mengusap wajah dengan kasar. Meremas rambut dengan kuat. Sebelumnya, kami baik-baik saja. Bahkan, lebih dari itu. Jadi, aku tak percaya jika Arsyana tiba-tiba menjadi benci padaku.

Kuusap layar ponsel, menyentuh nama Arsyana, dan melakukan panggilan. Nada sambung terhubung. Beberapa detik, lalu terputus.

Kuulangi beberapa kali, hingga tak lagi terdengar nada sambung. Dia mematikan ponselnya.

Permainan macam apa ini?

Bunyi bel apartemen terdengar memecah kesunyian. Aku berharap Arsyana sedang berdiri di balik pintu dengan senyum manisnya, dan mengatakan bahwa ini lelucon. Aku segera bangkit, dan membuka pintu.

PLAK!

Telapak tangan mendarat di pipiku dengan kencang. Seketika rasa panas menjalar di sekitarnya.

Seorang perempuan mengenakan gaun pengantin berwarna putih dengan riasan kacau sedang menatapku sinis. Dadanya bergetar naik-turun. Air mata meluncur di pipinya.

"Kanaya?"

"Brengsek kamu, Van! Brengsek!" jeritnya seraya memukul-mukul bahuku dengan kencang.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku bingung.

"Kamu! Apa yang kamu lakukan? Hah?" Kanaya balik bertanya.

Aku hanya bergeming. Tak sedikit pun mengerti apa maksudnya. Dia terus terisak dengan tatapan berkilat amarah.

"Kamu nggak becus jagain Arsyana! Kamu nggak becus jadi suami Arsyana! Kamu brengsek! Bajingan!"

Kanaya terus meracau histeris. Tangannya tak henti memukul dada dan bahuku. Aku kebingungan, hingga tak tahu harus melakukan apa sekarang. Beruntung koridor apartemen sedang sepi. Sehingga tak ada orang yang menyaksikan drama konyol ini.

"Gara-gara ketololan kamu, Ashkara pergi begitu aja ninggalin aku! Dia lebih mementingkan adiknya yang bodoh itu daripada pernikahannya sendiri! Aku benci sama kamu, Evan! Aku benci!"

Aku tertegun, menatap Kanaya yang perlahan luruh ke lantai. Bahunya berguncang karena terus histeris. Perempuan ini tidak lebih baik dari Arsyana. Bahkan keadaannya begitu buruk. Siapa yang tak kecewa ditinggalkan kekasih di saat-saat penting seperti ini?

Aku merutuki diri sendiri. Memaki kebodohanku. Mencaci ketidak-mampuanku menjaga Arsyana. Hingga perempuan yang sekarang terduduk di lantai ini terlihat begitu menyedihkan.

Aku ... payah.

"Kanaya!" teriak seseorang di depan lift.

Ashkara.

Dia masih memakai stelan berwarna putih, lengkap dengan pantofel hitam mengkilat. Wajahnya terlihat gusar.

"Ay, ayo pulang!" ajak Ashkara setelah berjongkok di sisinya. Tangannya melingkar di bahu Kanaya. Wajahnya mendekat.

Kanaya menepis lengan Ashkara. Lalu mendorong Ashkara kuat-kuat. Dia menoleh pada Ashkara dengan wajah memerah, seperti hendak mengeluarkan seluruh amarah.

"Kamu!" jerit Kanaya. Dadanya naik turun. "Kamu sama brengseknya seperti dia!" lanjutnya seraya menoleh padaku.

"Ay, maaf. Tapi ini soal Ars ...."

I Love You, Ars!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang