ARSYANA 10

251 20 0
                                    

Pikiran buruk mendominasi isi kepala saat ini. Beberapa kali dia pulang sampai larut. Tak jarang telepon dariku diabaikan. Bekas lipstik merah di cangkir kopi. Sebuah dasi yang diantarkan oleh seorang perempuan yang menurutku seksi.

Selanjutnya apa?

Aku tak bisa berpikir jernih saat ini. Amarah yang menguasai. Membuatku ingin memaki setiap detail yang telah terjadi tanpa kusadari.

"Siapa perempuan itu?" tanyaku dengan tatapan nyalang.

"Aku nggak liat siapa dia. Mungkin ... dia salah satu rekan kerja aku."

Napasku terengah, menahan segala emosi yang mendera.

"Di mana kamu tinggalin dasi kamu waktu itu?"

"Seingatku ... aku lepas di ruanganku pas jam istirahat."

Cih.

Bahkan dia tak ingat.

"Ars ... kamu percaya kan sama aku?"

Aku tertetegun menatap matanya. Mencoba mencari kebenaran di sana. Tapi, tak kutemukan.

"Aku ... butuh waktu."

"Sayang ...."

"Aku mau ke rumah Bang Ash."

"Oke, aku anterin."

"Nggak!" jeritku. "Aku pergi sendiri."

Aku menyambar sling bag di atas sofa, dan cepat-cepat bergegas meninggalkan apartemen.

Evan ... sama sekali tak mencegahku.

***

Aku segera menghapus sisa air mata yang tumpah sejak di perjalanan tadi. Tak ingin membuat Bang Ash khawatir.

"Ars?"

Bang Ash muncul di balik pintu. Aku langsung menghambur dalam pelukannya.

"Ars ...."

Bang Ash memaksa melepaskan pelukan.

"Lu sendiri? Evan mana?"

Aku hanya menggeleng.

"Ars ... mata lu ... sembab. Lu berantem sama Evan?"

Aku menunduk. Takut Bang Ash menyadari.

Bang Ash mengajakku masuk ke dalam. Dia merangkul bahu, dan mendudukkanku di atas sofa.

"Cerita sama gue. Apa yang udah Evan lakuin sama lu?" Terdengar penuh emosi dari nada bicaranya.

Arsyana bodoh!

Apa yang ada dipikiranku sehingga aku menemui Bang Ash dalam keadaan seperti ini? Bagaimana kalau akhirmya Bang Ash membenci Evan? Padahal, belum tentu terjadi sesuatu antara Evan dan perempuan itu. Aku begitu ceroboh dalam menyimpulkan sesuatu.

"Ars! Jawab!" Suara Bang Ash mulai meninggi.

Aku mengusap ujung mata ketika air mata hampir menetes lagi.

"Nggak ada. Nggak ada apa-apa," elakku.

Aku hanya menunduk, tak berani menatap matanya. Tapi, terlihat di sudut mataku, Bang Ash sedang menatapku lekat.

"Bang, gue cuma kangen ...," ucapku pelan.

"Sama gue?"

Aku menggeleng. "Sama Bunda, sama Ayah ...."

Bang Ash mengusap kepalaku dengan lembut. Yang membuatku semakin ingin meneteskan air mata. Aku mendongakan wajah. Menahan air mata agar tak tumpah.

I Love You, Ars!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang