Evan 29

378 19 9
                                    

Aku dan Ashkara menemukan Aldi sedang menekan kepala Arsyana ke dalam air. Arsyana tak bisa berenang. Dia hampir tenggelam. Sama sekali tak ada perlawanan darinya.

Ashkara segera mengurus Aldi, dan aku meraih Arsyana yang sudah terkulai lemas. Mengangkat tubuhnya hingga ke tepi pantai. Lalu, membaringkannya di atas pasir.

Arsyana mengenakan gaun putih, mirip gaun pengantin. Seluruh tubuhnya telah basah, matanya terpejam erat. Aku segera menekan-nekan dada Arsyana. Namun, dia tetap bergeming.

"Van, gimana Arsyana?" tanya Ashkara tiba-tiba.

Aku terlalu panik pada keadaan Arsyana, hingga tak menyadari polisi sudah tiba dan meringkus Aldi.

"Kasih napas buatan, Van!"

Tanpa pikir panjang aku segera memberikan Arsyana napas buatan. Berkali-kali. Namun, tak ada tanda-tanda dirinya akan segera sadarkan diri. Aku mengangkat tubuhnya lagi, untuk membawanya ke rumah sakit terdekat.

"Ars, gue cinta sama lo! Harusnya ini jadi hari pernikahan kita!" Teriakan Aldi terasa menggema ke tengah laut. Aku tak berniat menoleh ketika terdengar suara Ashkara memukul Aldi sekali lagi.

***

Beruntung, nyawa Arsyana masih bisa diselamatkan. Hanya paru-parunya yang banyak terendam air, mengharuskan dia memerlukan perawatan intensif. Juga, keadaannya yang lemah hingga belum sadarkan diri sampai saat ini.

Aku memandangi Arsyana lekat. Di sekujur tubuhnya penuh luka lebam, dan beberapa sayatan di wajahnya. Hatiku menangis melihat ini. Jauh lebih hancur dari sebelumnya.

Entah apa yang telah terjadi selama dia menghilang, tapi satu hal yang pasti, Arsyana begitu menderita. Hingga keadaannya terlihat menyedihkan seperti ini.

Untuk ke sekian kalinya, aku mengutuk diri sendiri. Aku merasa tak berguna sebagai suami Arsyana. Berkali-kali dia mengalami kesusahan yang disebabkan kisah masa lalu yang kelam.

Aku menggenggam tangan Arsyana. Kini, tubuhnya terasa hangat. Desahan napasnya menenangkan, walau wajahnya masih terlihat pucat.

"Van," lirih Ashkara di belakangku, "sebaiknya lo bawa Arsyana pergi dari sini," lanjutnya.

"Gue pikirin nanti, Ash."

"Apa lagi yang lo pikirin? Lo belum puas liat Arsyana menderita?"

Seketika hatiku bergemuruh. Selama ini, aku pun menderita melihat Arsyana seperti ini. Namun, semuanya butuh waktu dan persiapan. Juga, kondisi kesehatan Arsyana harus diutamakan.

"Lo pindah dari kota ini. Kalo bisa ke luar negeri."

Sepertinya, memang itu yang terbaik.

"Ini yang terakhir kalinya, Van. Gue nggak sanggup nyaksiin Arsyana menderita sekali lagi."

Aku hendak menjawab ucapan Ashkara, tapi tiba-tiba tangan Arsyana bergerak. Dia mulai membuka kedua matanya perlahan. Pandangannya tertuju pada langit-langit ruangan ini.

"Ars ... Sayang ...," bisikku.

Dia menoleh padaku dan Ashkara bergantian. Seketika pupilnya membulat. Dia beringsut dan menarik tubuhnya hingga berdesakan dengan tembok.

"Pergi kalian dari sini! Pergi!" jerit Arsyana histeris.

Aku dan Ashkara berpandangan. Kami sama-sama bingung atas sikap Arsyana. Dia terlihat seperti ketakutan melihat aku dan Ashkara berada di dekatnya.

"Ars, kamu kenapa? Aku mau jagain kamu di sini," ucapku menenangkan.

"Nggak! Aku nggak mau! Pergi!"

Aku mendekati Arsyana, hendak memeluknya. Namun, lagi-lagi dia histeris.

"Jangan deket-deket!" Arsyana merentangkan tangannya, memberi jarak.

Aku dan Ashkara semakin bingung melihat Arsyana. Beruntung, dokter dan perawat segera datang untuk memeriksa kondisi Arsyana.

"Bisa tunggu di luar?" tanya dokter itu pada aku dan Ashkara. Kami segera mengangguk, dan bergegas meninggalkan ruangan.

***

"Dari hasil pemeriksaan, tidak ada luka serius. Hanya saja, pasien mengalami depresi. Bisa saja disebabkan oleh kejadian mengerikan sebelum akhirnya dia tak sadarkan diri." Dokter menjelaskan tentang keadaan Arsyana.

Dadaku kembali bergemuruh. Menerka-nerka kejadian terburuk yang telah menimpa Arsyana. Namun, pikiranku saat ini sedang kacau. Hanya perasaan khawatir atas kehidupan Arsyana ke depannya.

"Jika kondisinya sudah stabil, kami bisa mendatangkan psikiater untuk memeriksa kejiwaan pasien. Dan saya mohon, selama itu juga Pak Evan dan Pak Ashkara untuk tidak menemuinya."

"Tapi, Dok--"

"Tahan, Van. Ini demi kesehatan Arsyana." Ashkara menyela perkataanku.

Setelah berpikir beberapa saat, mungkin ada benarnya. Aku harus menahan diri untuk tidak menemui Arsyana. Demi memulihkan kondisi psikisnya.

"Sekarang, pasien dalam pengaruh obat bius untuk menghindari histeris. Kita lihat perkembangannya setelah dia sadarkan diri lagi."

Setelah meninggalkan ruangan Dokter yang mengurus Arsyana, aku kembali ke ruangan Arsyana dirawat. Dari balik pintu yang terdapat sedikit kaca di tengahnya, aku memandangi Arsyana dari jauh.

Dia kembali tertidur. Damai, seperti tanpa beban. Namun di balik itu semua, dia menyimpan luka dan kepedihan yang mendalam. Yang aku pun tak tahu apa alasannya dia sampai depresi.

"Ash, si Brengsek itu gimana?" tanyaku pada Ashkara setelah ikut duduk di sebelahnya.

"Lo tenang aja, dia udah aman."

Aku menghela napas kuat-kuat, lalu mengembuskannya dengan perlahan. Kemudian mengusap wajah dengan kasar.

Semua yang terjadi, karena kesalahanku sebelumnya. Harusnya waktu itu, aku langsung saja melaporkan Aldi ke polisi dan menjebloskannya ke penjara. Aku hanya tak habis pikir, bisa-bisanya dia senekat ini menculik dan menyiksa Arsyana.

"Tapi ...." Ucapan Ashkara menggantung. Dia melipat kedua tangannya di dada. Pandangannya menunduk, memperhatikan ujung sepatunya di bawah sana.

"Gue nggak jamin Arsyana akan aman. Karena Hilda masih bebas di luar sana. Mungkin aja, kali ini mereka masih bersekongkol."

Aku termenung. Mencoba mencerna ucapan Ashkara. Dia benar, sebaiknya aku membawa Arsyana pergi dari sini. Lebih cepat lebih baik.

"Gue akan bawa Arsyana pergi, Ash."

"Ke mana?"

Aku memikirkan tempat seperti apa yang akan kami tinggali. Mungkin, pendapat Arsyana akan dibutuhkan nanti. Karena aku sepenuhnya akan menuruti permintaan Arsyana.

"Gue pikirin lagi nanti."

Ashkara mengangguk. Kini, kepalanya bersandar. Dia terlihat lelah, mungkin sama sepertiku. Namun, aku bisa melihat kegelisahan di raut wajahnya. Dia begitu mempedulikan kehidupan Arsyana. Sedangkan dirinya sendiri, menjadi lelaki brengsek sama sepertiku, meninggalkan kekasihnya di hari pernikahannya.

Mungkin, setelah kami pergi dari sini, Ashkara akan mulai menata hidupnya lagi. Mungkin, dia akan berbaikan dengan Kanaya, lalu meneruskan pernikahan mereka dengan tenang tanpa gangguan. Oleh sebab itu, dia meminta aku membawa Arsyana pergi dari sini, demi kebaikan untuk semuanya.

I Love You, Ars!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang