ARSYANA 18

295 34 11
                                    

Kanaya.

Perempuan itu duduk di sebelahku. Untuk beberapa menit, kami hanya saling diam. Hingga Bang Ash ke luar dari kamarnya.

"Ars ... gue ... gue mau ngomong."

Aku mendongak. Menerka-nerka apa yang akan dibicarakan selanjutnya. Kulirik Kanaya, dia hanya menunduk. Meremas ujung baju dengan kuat.

"Gue ... mau nikah sama Kanaya."

Apa yang kurasakan saat ini, aku tak tahu. Bahagia, atau sedih. Entahlah. Tak ada deskripsi yang tepat untuk menuliskan isi hatiku.

"Oh, ya? Bagus." Hanya itu yang keluar dari mulutku.

"Aku ... cukup tau masalah kamu." Kanaya membuka suara. "Aku turut bersedih atas apa yang terjadi sama kamu, Ars," lanjutnya.

"Ya ...."

"Dan aku cukup tau kedekatan kamu dan Ashkara. Tapi, aku ...." Suara Kanaya tercekat.

Dia menggenggam tanganku.

"... Aku sama sekali nggak bermaksud ngambil Ashkara dari kamu."

Hening.

Sudah seharusnya Bang Ash menikah. Tanpa perlu mengkhawatirkan perempuan bodoh seperti diriku.

"Ars ... nggak apa-apa kan?" tanya Bang Ash kemudian.

Jika bisa menghilang ke dasar bumi, aku menginginkannya. Bertubi-tubi masalah menggelayuti. Walau sebenarnya, pernikahan Bang Ash bukanlah suatu masalah. Harusnya aku berbahagia atas ini. Tapi ... aku hanya tak ingin kehilangan sosok yang selalu melindungi.

"Kalian nggak perlu khawatirin aku. Tentu aja aku nggak apa-apa. Aku seneng," ucapku sedikit bergetar.

"Selama ini ... maaf kalo sikapku nggak baik. Tapi, aku cuma nggak suka setiap Ashkara nggak bisa tepatin janji."

"Karena aku? Bang Ash nggak bisa tepatin janji gara-gara aku?"

"Ars ...."

"Bang ... mulai sekarang, lu harus prioritasin Kanaya. Bukan gue. Ya?"

Bang Ash menatapku nanar. Aku sama sekali tak ingin terlihat seperti sedang mengiba. Untuk apa? Ini kehidupannya, dia telah memilihnya.

"Kalian lanjutin, aku ... masuk kamar dulu."

Tak ada jawaban. Mereka saling diam. Aku mulai melangkah menuju kamar. Membuka pintu, dan menutupnya. Menyandarkan punggung pada daun pintu. Merosot di bawahnya perlahan.

Betapa menyedihkan hidup seperti ini. Yang awalnya kukira Bang Ash adalah satu-satunya yang akan selalu tetap disampingku, perlahan akan pergi juga. Lambat laun, kenyataan itu akan menunjukkan bahwa dia adalah seorang pria dewasa yang butuh teman hidup.

Lihat diriku, kehilangan semangat cahaya. Kegagalan atas nama cinta, meninggalkan banyak luka. Ditambah luka yang lain. Yang mungkin akan membekas selamanya.

Di luar sana, kadang aku mendengar mereka bercakap pelan. Kadang, sunyi sama sekali. Aku tak bisa memastikan apa yang mereka bicarakan.

"Ars ...," lirih Bang Ash terdengar sayup. "Udah tidur?"

Aku membuka pintu. "Kenapa, Bang?"

"Gue boleh masuk?" Aku mengangguk.

"Kanaya udah pulang?" tanyaku sambil menghempaskan badan di atas tempat tidur.

Bang Ash berlutut di hadapanku, kemudian menatapku. "Kalo lu nggak setuju, gue bisa tunda, Ars."

"Kenapa? Gue setuju kok," kataku dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

I Love You, Ars!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang