EVAN 4

292 31 0
                                    

Kami tengah berkumpul di meja makan, untuk menyantap sarapan pagi ini. Tak ada yang berbicara, hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Terlebih, Papi memang tak menyukai obrolan ketika sedang menyantap makanan.

Aku meneguk segelas air putih, setelah menghabiskan sarapan. Kulirik Arsyana, dia sedang mengaduk-ngaduk makanan di atas piringnya, hanya sedikit yang dimakan. Papi dan Erika telah menghabiskan makanannya masing-masing.

"Mami, Papi ... jadi, Arsyana ini calon istri Evan," ucapku yakin saat membuka obrolan.

Uhuk.

Mami tersedak saat sedang melahap suapan terakhir. Erika langsung memberikan segelas air putih. Papi menatapku serius.

"Kamu yakin?" tanya papi.

Aku mengangguk. "Yakin, Pi. Semuanya lagi Evan siapin. Kita nikah minggu depan."

Mami melirik Arsyana. "Kenapa tiba-tiba begini, Van? Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa, Mam. Kita saling cinta, jadi ingin secepatnya menikah." Aku menggenggam jemari Arsyana. Berharap dia tak protes sedikit pun.

Arsyana melepaskan genggaman tanganku. Dia terlihat kikuk, sedikit salah tingkah.

"Maaf, Om, Tante, aku mau ke toilet."

Mami melirik Erika, mengisyaratkan agar mengantar Arsyana ke toilet. Erika bangkit dari tempat duduknya.

"Yuk, gue anter."

Arsyana tersenyum. "Permisi." Kemudian mengekor Erika dari belakang menuju toilet. Mami hanya tersenyum kecut, tidak seperti papi yang memberikan senyum tulusnya.

"Evan, jelasin! Kamu udah lama nggak pulang, sekalinya pulang bawa perempuan, dan bilang mau nikah minggu depan. What the hell?" Mama mengintrogasiku setelah Arsyana tak terlihat.

"Mam, please ... umur aku udah lebih dari cukup untuk menikah. Nggak ada yang salah."

Mama bersandar dengan kasar pada kursinya.

"Evan bener. Dia udah seharusnya menikah." Beruntunglah papi membelaku. Dibanding mami, papi selalu yang paling mengerti keadaanku. Papi selalu menghargai keputusanku.

"Tapi, nggak tiba-tiba kayak gini. I'm so surprised! Wait ... kamu hamilin dia?" Mama menatapku tajam sambil mengacungkan garpu di depanku.

Aku tertawa. Ya, mami memang seheboh itu. Apapun tanpa pemberitahuan sebelumnya, dia akan menentang.

"Nggak lah, Mam," jawabku santai.

Mami menarik napas lega. "Berapa umurnya?"

Aku memutar bola mata. "Mungkin ... dua puluh."

"Mungkin?" Mama melotot.

Aku mengangkat bahu. "Nggak masalah kan?"

"Terus, orang tuanya ... kamu udah lamar langsung? Kenapa nggak bilang Mami sama Papi sebelumnya?"

"Orang tuanya udah meninggal. Jadi, Arsyana itu adenya Ashkara, Mam. Teman baik Evan."

"Terus, kenapa kamu ajak dia tinggal di sini?" tanya Papi.

"Jadi, Ashkara kan lagi beresin proyek di luar pulau, Pi. Aku nggak tega kalo dia harus tinggal sendirian di rumahnya. Ya Evan ajak dia ke sini. Tapi cuma sementara kok. Sampe kami nikah."

Mami dan papi berpandangan. Lalu Arsyana sudah kembali ke meja makan. Mami memijit-mijit dahinya, seraya berlalu.

"Oh, my headache!" pekiknya.

***

Aku membawa tas berukuran besar ke dalam kamarku di lantai dua. Arsyana mengikuti dari belakang. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Tanpa senyum, tanpa ekspresi.

I Love You, Ars!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang