"Kanaya?"
Perempuan itu mendekat, menghampiri aku dan Bang Ash. Manis, tapi sedikit tidak ramah saat terlihat kerucut di bibirnya. Sorot matanya menunjukkan bahwa dia sedang kesal.
"Aku nunggu kamu dari tadi, Ash! Ternyata, kamu di sini?"
Bang Ash melirik ke arahku. "Kamu udah sarapan? Duduk dulu sini," ajaknya.
Perempuan itu membatu, memandang sinis ke arahku. Seakan mengerti apa yang dimaksud, Bang Ash segera memperkenalkanku.
"Nay, kenalin ... ini Arsyana, adikku."
"Hai, aku Arsyana ...," ucapku sambil menjulurkan tangan.
"Kanaya," sahutnya singkat.
Kanaya sedikit menarik sudut bibir, tapi terlihat sangat dipaksakan. Aku tak mengerti, apa yang terjadi dengan mereka berdua.
"Ya udah, kalo gitu. Aku berangkat sendiri aja," ucapnya seraya berlalu.
Aku mendelik pada Bang Ash. Sepersekian detik, aku mengerti. Bahwa, Kanaya adalah kekasih Bang Ash. Mungkin, dia marah karena Bang Ash terlambat menemuinya. Sedangkan Bang Ash sendiri, hanya terdiam di tempatnya, seperti tak ada niatan untuk mengejar Kanaya.
"Gue juga mau pulang," kataku akhirnya.
Tanpa menunggu persetujuan, aku meninggalkan Bang Ash yang hanya terdiam. Meninggalkan sepiring ketoprak yang masih banyak tersisa. Padahal, aku tak merasakan mual sedikit pun saat memakannya.
Aku dan Bang Ash segera masuk ke dalam mobil. Tak ada percakapan sama sekali selama perjalanan. Aku pun lebih banyak membuang muka.
Entah apa yang kurasakan. Aku hanya kecewa pada diri sendiri. Sampai kapan aku merepotkan Bang Ash? Sedangkan dia sendiri punya kehidupannya masing-masing. Tak bisa terus-terusan mengurusiku yang tak berguna ini.
Saat sampai di depan rumah, aku langsung turun dari mobil. Menerobos masuk ke dalam rumah. Debaman pintu kamar bergema saat kubanting kuat-kuat.
***
"Ars ...."
Aku membuka mata. Seakan mendapat bisikan cinta. Evan berlutut di samping tempat tidur. Mengusap rambutku dengan sayang.
"Ngapain kamu di sini?"
Evan mengenakan kemeja dan dasi seperti biasa saat kerja. Aku melihat jam dinding. Jam lima sore.
"Aku kangen sama kamu," ucapnya pelan.
Aku terhenyak. Ingin sekali memeluk pria di hadapanku. Mencurahkan isi hati, meluapkan segala kegundahan. Tapi, bagaimana mungkin? Sedangkan dia yang menjadi segala penyebabnya.
"Bentar lagi Bang Ash pulang. Mending kamu pergi," ucapku seraya beringsut duduk.
Evan meraih sesuatu di atas lantai. Paper bag berukuran besar. Dia memberikannya padaku. Aku melihat isinya. Susu khusus ibu hamil, vitamin, buah-buahan, dan beberapa cemilan.
"Buat apa? Aku bisa beli sendiri."
"Kamu masih tanggung jawabku."
"Ya udah. Kamu pulang aja."
"Ars ...."
Aku bergeming.
"Kamu pulang ya sama aku?"
"Nggak."
"Kamu harus percaya sama aku. Aku nggak ...."
"Cukup! Kamu nggak usah ngomongin itu lagi. Aku muak!"
Evan menunduk. Kemudian bangkit.
"Aku cuma pengen kamu percaya sama penjelasan aku. Tapi, kamu nggak kasih aku kesempatan."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Ars!
RomancePRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah...