Berulang kali kuhubungi Evan, namun tak ada jawaban. Jam les memasak hari ini ternyata lebih cepat di luar dugaan. Di pelataran parkir yang mulai sepi, kakiku mulai pegal.
Sebuah motor matic yang dikendarai oleh dua orang perempuan berhenti di depanku. Satu di antaranya, turun dan melepaskan helm.
"Gue cabut dulu ya, Hil," ucap perempuan yang masih di atas motor.
"Oke. Jangan lupa jemput gue jam tujuh," sahut perempuan yang turun dari motor.
"Oke."
Perempuan itu langsung melesat cepat di jalanan. Sedangkan perempuan yang turun, memulai langkahnya. Tatapan kami bertemu, dia tersenyum, dan mengernyitkan dahi.
"Mbak ... yang dulu di outlet pakaian baby and kid's kan?"
Aku memicingkan mata. Mengamati lekat-lekat perempuan di hadapanku. Oh, ya ... dia perempuan hamil itu. Tapi, kini berbeda. Perutnya terlihat rata. Apa mungkin dia sudah melahirkan?
"Mbak yang waktu itu lagi hamil?" tanyaku.
"Iya, Mbak. Tapi, sekarang aku udah melahirkan."
"Wah ... selamat ya, Mbak."
"Makasih. Oh, ya ... kenalin, aku Hilda."
"Aku Arsyana."
Kami bersalaman.
"Mbak Arsyana kursus masak di sini?" tanyanya.
"Iya, Mbak. Mbak juga?"
"Iya, tapi aku ambil kelas sore. Kalo gitu, aku masuk dulu ya, Mbak. Kapan-kapan kita ketemu lagi."
"Iya, Mbak."
Hilda berjalan menuju pintu masuk. Walau sudah melahirkan, dia masih terlihat cantik. Sepertinya, dia pandai merawat diri. Tak ada lemak bergelambir di sekitar perut atau bagian tubuh yang lainnya. Apalagi, busana yang dikenakannya lumayan ketat.
Ah, aku teringat Evan ... ke mana dia?
Memang, akhir-akhir ini dia terlihat sibuk. Beberapa kali sering pulang malam. Pernah suatu hari, dia pulang begitu larut. Kesibukannya kadang membuatku jenuh.
Kuperiksa ponsel sekali lagi, memastikan kabar dari Evan. Ternyata nihil. Baiklah. Aku putuskan untuk pulang sendiri saja menggunakan taksi online.
Di perjalanan, aku teringat bahwa rute yang kulalui saat ini melewati kantor tempat Evan bekerja. Mungkin, tak masalah jika aku mampir sebentar.
Aku menginjakkan kakiku di sebuah gedung perkantoran. Ini kali pertamaku ke sini. Sebelumnya, Bang Ash pernah bercerita, bahwa dia bekerja di lantai tiga.
"Permisi, Mbak. Ruangan Evan ada di lantai berapa, ya?" tanyaku pada seorang Resepsionis perempuan yang sedang berjaga di lobi.
Perempuan itu lantas berdiri. Memperhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan sinis. Apa yang salah denganku? Bukankah ... seorang Resepsionis harusnya bersikap ramah?
"Pak Danial Evan maksudnya?" si Resepsionis itu balik bertanya.
"Iya betul."
"Kalau boleh tau, Anda siapanya Pak Evan?"
Baru kusadari, pesta pernikahan itu penting. Di saat seperti ini, tak ada yang mengenaliku sebagai istri Evan. Yang kudapat, hanya tatapan sinis dari perempuan di hadapanku. Atau jangan-jangan ... tak ada yang tahu bahwa Evan sudah menikah?
Aku tersenyum seramah mungkin. Tak ingin menunjukkan kekesalanku.
"Saya istrinya."
Perempuan itu terkesiap, matanya membulat. Sepersekian detik menunjukkan senyum ramahnya. Aku tahu, dia hanya berpura-pura.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Ars!
RomancePRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah...