Dua bulan sudah aku dan Arsyana kembali tinggal bersama di apartemen. Belum banyak yang berubah darinya. Dia hanya menjawab pertanyaanku seperlunya, dan lebih banyak diam. Aku pun sudah lama tak menemukan senyum di wajahnya.
Pernah suatu malam, aku terbangun karena mendengar isak tangisnya. Dia tidur membelakangiku, bahunya bergetar. Dengan cepat aku memeluknya, menenangkannya hingga Arsyana kembali terlelap.
Hari ini, aku berencana mengajak Arsyana untuk melihat rumah yang akan kubeli. Mungkin, dia penat dengan suasana di apartemen. Atau sekadar merefresh pikirannya yang sedang jenuh.
Saat tiba di sana, Arsyana memperhatikan sekeliling keadaan di dalam rumah dengan design modern dan bernuansa minimalis. Tak terlalu besar, tapi suasananya cukup nyaman dan rapi.
"Kamu suka?" tanyaku.
Bola matanya bergerak-gerak, ke atas, kanan, dan kiri. Terakhir, dia menatapku.
"Untuk apa ini semua?" Arsyana balik bertanya.
"Untuk kamu," jawabku cepat.
"Aku rasa ... ini nggak perlu."
"Kenapa? Aku pikir, kamu jenuh tinggal di apartemen."
Arsyana terdiam, dan masih menatapku.
"Rumah ini nyaman. Lokasinya juga deket sama rumah Ashkara. Kamu bisa bolak-balik ke sana kapan pun kamu mau," jelasku.
Arsyana menghela napas panjang, dan mengembuskannya dengan kasar. "Aku nggak mau," ucapnya singkat, lalu berbalik dan melangkah menuju pintu.
"Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali seperti dulu?" Aku berteriak hingga Arsyana menghentikan langkah. Tapi dia tak mebalikkan badan, dan kembali melanjutkan langkahnya.
Di sepanjang perjalanan kami hanya diam. Larut dalam pikiran masing-masing. Di kepalaku saat ini hanya ada pertanyaan bagaimana caranya mengembalikan kebahagiaan Arsyana.
Saat tiba di apartemen, Arsyana langsung masuk ke kamar mandi. Aku memilih berdiam diri di balkon, memandangi langit yang sebentar lagi akan menunjukkan semburat jingganya.
Entah berapa lama aku berdiri di sini, dan tak sedikit pun menoleh ke belakang. Hingga tak terasa kedua tangan Arsyana melingkar di perutku. Dia memelukku dari belakang, dan menyandarkan kepalanya pada punggungku.
"Evan ...," bisiknya.
Aku hendak berbalik, tapi Arsyana menahannya. Dia mengeratkan dekapannya.
"Maaf atas sikapku selama ini. Aku cuma ...." Suaranya tertahan. Aku tahu dia sedang menyembunyikan air mata yang mulai menggenang.
"... Aku nggak tau apa yang aku rasakan saat ini. Aku hanya merasa sedih sepanjang waktu. Aku merasa sangat buruk."
Aku menyadari itu semua. Aku dan Arsyana sedang berada di titik terendah dalam hidup. Kami saling mencinta, tapi juga saling melukai. Karena kesalahan fatal di masa lalu, akhirnya kami saling menyakiti. Sehingga harus mengorbankan dia yang telah dinantikan.
"Ars ...."
"Van ...."
Aku melepaskan pelukan Arsyana perlahan, dan berbalik. Aku mendapati dia sedang menunduk. Kedua tangannya tertelungkup pada wajah. Bahunya bergetar.
Aku segera memeluknya. Membenamkan wajahnya pada bahu, mendekapnya erat. Dia balas memelukku. Jemarinya meremas punggungku, melepas semua gundah yang tertahan.
Aku membiarkan hingga tangisnya mereda. Dia mendongakkan wajah, menatapku sayu. Matanya kembali terlihat sembab dan memerah.
"Aku janji, Van," ucapnya parau.
"Apa?"
"Aku janji ... ini terakhir kali aku nangis."
Aku tersenyum, lalu mengecup keningnya. "Aku akan selalu membahagiakanmu, Ars."
Kini, giliran Arsyana yang mengulum senyum. Rasanya, sudah lama sekali aku tak pernah melihatnya semanis ini.
"Jadi?" tanyaku.
Tak menjawab, Arsyana melingkarkan kedua tangannya di bahuku. Wajahnya mendekat. Terasa embusan napasnya ketika bibir itu menyentuh bibirku singkat.
Aku menatapnya lekat. Mengunci pandangannya. Kini, wajahku yang mendekat, dan mencium bibirnya. Melumatnya perlahan, mengulumnya lembut. Menciptakan gairah yang kian menggebu. Mengembalikan waktu yang terbuang percuma, dan melampiaskan hasrat di atas tempat tidur.
***
Pagi menjelang, aku masih betah di balik selimut. Sedangkan Arsyana--entah terbangun dari jam berapa--sedang beraktivitas di pantry. Aku memperhatikannya dari belakang.
Aku mendekat, melangkah sangat pelan hingga tak menimbulkan suara. Hendak memeluknya dari belakang ketika menyadari tubuhnya begitu menggoda. Namun sebelum itu, dia berbalik.
"Evan!" jeritnya terkejut.
Aku meringis saat dia mencubit perutku. Segera aku mencium bibirnya. Dia terdiam menatapku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku cinta kamu," jawab Arsyana dengan mata berbinar. Pipinya memerah seperti tomat.
"Aku tau," sahutku jahil.
Arsyana mengerucutkan bibir, kesal. Dia berbalik, kembali menyiapkan makanan. Aku memeluk tubuhnya dari belakang. Menciumi tengkuknya yang dipenuhi anak rambut berjatuhan.
"Evan, aku lagi masak," ucap Arsyana sambil mencoba berkelit.
"Aku cuma pengen peluk kamu."
"Ya, tapi aku susah gerak."
"Kalo gitu matiin kompornya," bisikku.
"Terus nanti masakannya gimana? Ini masakanku yang pertama setelah tinggal di sini lagi."
"Matiin kompornya, kita kembali ke tempat tidur," bisikku lagi sedikit menggoda.
"Nggak!" jawabnya cepat.
"Kenapa? Kamu istri aku. Harus memenuhi kebutuhan suami."
"Ya, tapi nanggung, Evan!"
Tanpa menunggu waktu lebih lama, aku segera mematikan kompor. Aku membopong Arsyana yang tak henti menjerit kesal, membawanya ke tempat tidur.
Napasnya terengah. Kami bertatapan dalam diam seolah tak ada lagi kata yang mampu mendeskripsikan perasaan masing-masing. Aku mencium bibirnya, melumatnya lembut. Kembali larut dalam permainan indah seperti semalam.
***
Kami duduk mengelilingi meja bundar. Saling diam, tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Sedangkan Ashkara dan Kanaya tampak gelisah.
"Bang Ash ...," ucap Arsyana dengan sorot mata tajam menatap Ashkara dan Kanaya bergantian.
"Ars, gue nggak tau harus ngomong mulai dari mana. Tapi, intinya gue ...." Suara Ashkara tertahan. Dia menoleh pada Kanaya. "Gue putuskan untuk menikahi Kanaya," lanjutnya.
Mulut Arsyana terbuka lebar, lalu segera menutupnya dengan kedua tangan. Matanya berkaca-kaca.
"Serius, Bang? Gue seneng dengernya," ucap Arsyana yang membuat kami menghela napas lega bersamaan.
Aku yakin, keadaannya sudah mulai membaik sekarang. Tak perlu ada lagi yang dikhawatirkan selama Arsyana bersamaku.
Kini, Ashkara bisa bernapas lega.
"Lu nggak apa-apa?" tanya Ashkara ragu.
Arsyana mengerutkan kening. Dia menatap kami bertiga secara bergantian. "Aku baik-baik aja," jawabnya yakin.
"Ars, gue ...."
"Bang, gue ikut bahagia kalo lu bahagia."
"Kamu yakin, Ars?" tanya Kanaya meyakinkan.
"Liat! Aku dan Evan baik-baik aja sekarang."
Ashkara meraih jemari Arsyana. Mereka tersenyum bersamaan dengan mata berbinar.
***
Hai hai ... masih mau ikutin cerita ini dengan konflik lainnya, atau cepet-cepet tamat aja? Vote dan komen ya, gais!
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Ars!
RomancePRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah...