Bang Ash menungguiku semalaman. Dia tertidur sambil duduk di kursi. Kedua tangannya menopang kepala di atas ranjang rumah sakit. Aku mengusap rambutnya perlahan, dia terbangun.
"Pagi, Ars ...," sapanya parau.
"Bang, lu pulang gih. Pasti pegel-pegel, 'kan?"
"Gue mau nemenin lu di sini sampe lu boleh pulang, Ars."
"Tadi, kata perawat, gue baru boleh pulang besok, Bang."
Bang Ash menguap, menyisakan mata yang berkaca-kaca. Lingkar hitam timbul di area mata. Dia terlihat begitu lelah.
"Bang, lu pulang ya? Gue baik-baik aja."
Bang Ash menatapku.
"Gini deh. Lu pulang, tidur. Bangun tidur, lu ke sini lagi. Oke?"
Pagi ini, aku terasa lebih segar. Rasa sakit di perutku sudah hilang. Bahkan, suhu tubuh sudah kembali normal. Tapi, dokter tak mengizinkan saat aku meminta untuk pulang secepatnya.
"Ya udah, oke. Tapi kalo lu ada apa-apa, langsung kabarin gue."
"Oke, Bang."
Bang Ash bergegas, melangkah menuju pintu meninggalkan ruangan.
Aku meraba-raba nakas di samping ranjang. Mencari ponsel. Nihil. Tentu saja tertinggal di apartemen.
"Pagi ... Bu Arsyana sarapan dulu ya." Seorang petugas masuk ke ruangan dan membawakan breakfast set.
"Makasih," ucapku.
Saat petugas ke luar ruangan, aku memulai sarapan. Menyuap nasi lembek beserta sayur bening. Tak begitu buruk. Hanya saja ... terasa sedikit mual. Hingga sampai lima suapan, dan ... hoeeek.
Aku memuntahkan seluruh isi perut. Makanan yang kulahap tadi, berceceran tak beraturan di atas baju dan selimut. Bersamaan dengan datangnya Evan.
Evan termangu melihat keadaanku. Mungkin, menurutnya menjijikkan. Terserah, aku tak peduli.
Menit berikutnya, dia tersenyum. Menghampiriku yang saat ini mungkin sedang terlihat bodoh. Dia mengusap kepalaku, aku menepis.
Setelah itu, tahu apa yang dilakukannya? Dia membersihkan sisa muntahanku yang berceceran tanpa mengeluh sedikit pun. Mengganti selimut yang dibawanya. Begitupun dengan bajuku.
Saat aku hanya mengenakan bra, dia mengusap perutku. Penuh sayang. Bahkan, sampai sekarang aku masih tak percaya pria selembut Evan tega berkhianat. Atau mungkin, karena dia terlalu lembut, sehingga dengan mudahnya menyama-ratakan kelembutan pada setiap perempuan?
Aku menepis tangan Evan. Segera memakai baju yang dibawanya. Bersandar pada bantal yang posisinya sudah diatur.
"Kamu mau makan apa biar nggak mual? Aku beliin."
Aku menggeleng.
"Kamu harus makan. Biar dia sehat."
Evan menatapku penuh makna. Sorot matanya mengisyaratkan kerinduan. Ah, tidak. Itu hanya omong kosong.
"Kenapa kamu nggak kerja?"
"Aku mau jagain kamu di sini."
"Nggak usah. Bang Ash bentar lagi balik."
Evan menghela napas, mengembuskannya perlahan.
"Kamu nggak bisa kayak gini terus, Ars."
"Gimana? Kamu yang buat aku kayak gini."
"Kalau begitu kita selesaikan."
"Oke. Kita selesai sekarang."
Evan menatapku nanar. Bekas lukanya masih terlihat jelas di beberapa bagian.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Ars!
RomancePRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah...