Hujan masih mengguyur saat aku menyuap sesendok affogato di apartement lounge. Berbeda dengan Evan, dia memilih secangkir espresso. Matanya fokus menatap layar laptop yang menyala di depannya. Seharusnya, hari ini dia sudah mulai bekerja. Tapi nanggung, katanya. Nanggung apa? Entah.
Benar kata Bang Ash, lama-lama aku meleleh oleh sikap manis Evan. Aku selalu suka ketika dia menatap mataku saat berbicara. Aku selalu suka ketika mendengar suaranya yang lembut saat memanggil namaku. Walau terkadang ada debaran yang menari-nari.
Evan mengerutkan dahinya sambil terus menatap layar, sesekali melirikku. Jemarinya lincah menekan-nekan keyboard. Ada pemandangan yang lebih menarik selain ini? Kurasa ... tidak! Dia terlihat seksi saat di depan laptop. Ah, aku mulai gila sekarang.
"Evaaan!"
Aku dan Evan menoleh.
Perempuan.
Dia memakai pakaian minim, sepatu hak tinggi, dan lipstik merah menyala di bibir. Perempuan itu menghampiri Evan, bergelayut manja, dan mencium pipinya.
Mata Evan terbelalak, lalu menggeliat tanda tak nyaman. Aku menatapnya nyalang. Menjijikkan.
"Evan ... kamu ke mana aja, Honey? Kita kangen loh sama kamu," ucap perempuan itu. Dia nyaris bergelayut lagi jika Evan tak menepisnya.
Honey?
Kita?
Kangen?
"Sorry, kita sibuk. Yuk, Ars!"
Evan menutup laptopnya dan segera menarik tangaku, berjalan menuju lift di lobi. Aku meninggalkan affogato-ku yang masih tersisa setengah. Mood booster-ku, nyatanya mood-ku jauh lebih buruk!
Di dalam lift aku melepaskan kasar genggaman Evan. Dadaku bergemuruh, pikiranku kacau. Bisa-bisanya dia menikmati saat perempuan lain mencium pipinya? Maksudku ... kenapa tak ada penolakan sama sekali?
Saat ini, aku sedang tak ingin melihat wajahnya. Tak sepatah kata pun yang diucapkan. Bahkan, dia tak memberi penjelasan sedikit pun mengenai kejadian barusan.
Evan meraih tanganku saat ke luar dari lift, namun kutepis. Sungguh, aku tak ingin disentuhnya. Aku benci.
Saat tiba di kamar, aku langsung meminum segelas air putih. Meringankan segala sesak di dada, menetralkan perasaan tak nyaman ini.
"Ars ...," lirihnya.
Aku menatap tajam matanya. "Siapa?"
"Aku nggak tau dia siapa."
"Tapi dia tau nama kamu, dia cium pipi kamu. Ada ya, orang nggak kenal tapi langsung meluk terus cium pipi? Ada?"
"Tapi aku beneran nggak tau dia siapa."
"Siapa, Evan? Jawab!" Aku menjerit. Napasku terengah.
Sekilas, aku teringat foto yang berada di dalam lemari Evan. Dia bukan Nadia, karena foto Nadia tersimpan rapi di dalam kotak di bawah kolong tempat tidur. Jelas bukan Nadia, karena Nadia tak ada. Ya, dia salah satu jalang yang ada di foto itu.
Evan menggeleng.
Aku tersenyum kecut. "Mungkin kamu hanya lupa!"
Aku bergegas melangkah menuju balkon. Namun kuurangkan, karena di luar hujan masih cukup deras. Aku hanya memandangi segerombolan air langit itu di balik jendela.
Evan memelukku dari belakang. Aku ingin berontak, tapi ditahannya. Dia semakin mengeratkan pelukan. Menciumi rambutku dengan lembut. Aku memejamkan mata, tak sanggup menolak.
"Maaf, Sayang ...," bisiknya.
Cih.
Bahkan, aku terhanyut dalam pelukan dan kelembutan suaranya. Haruskah aku memaafkan? Atau mungkin ... Evan benar-benar lupa siapa jalang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Ars!
RomancePRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah...