Realita, tak sesuai ekspektasi. Ketika aku hanya memikirkan yang indah-indah saja, begitu banyak yang tak kuketahui sebelumnya. Awalnya aku berpikir, menikah dengannya akan menyelesaikan masalah. Namun, inilah awal yang sebenarnya.
Seperti pagi ini, saat aku tak sengaja membuka lemari Evan. Aku menemukan beberapa lembar foto di dalam kotak kecil di atas tumpukan baju. Di mana, objek foto itu adalah Evan. Dia di kelilingi banyak perempuan di suatu tempat berpenerangan remang, hanya cahaya kelap-kelip di atasnya. Ada beberapa lembar, dan semuanya hampir sama. Yang menarik perhatianku, ada satu perempuan yang sama di beberapa foto.
Aku tahu, perempuan macam apa yang berada di tempat seperti itu. Aku tak bisa memastikan, kapan foto itu diambil. Entahlah. Tapi, tiba-tiba dadaku begitu sesak. Aku hampir tak bisa menahan diri saat ada yang mengetuk pintu. Terlebih, aku sudah berjanji pada Bang Ash untuk tidak membuat kekacauan. Cepat-cepat kumasukkan foto itu ke dalam kotak, dan kembali menyimpannya di dalam lemari.
"Arsyana ...."
Aku membuka pintu. Ternyata Erika.
"Iya, Kak?"
"Udah ditungguin di bawah. Kita sarapan dulu."
"Iya, Kak."
Kami berjalan menuruni tangga. Rumah ini cukup mewah. Dengan design minimalis di setiap interiornya. Terdapat banyak lukisan dan beberapa foto keluarga di dinding.
Aku duduk di meja makan, berhadapan dengan mami. Ah, ya, mami. Wanita yang membuatku hampir gila beberapa hari ini. Dia selalu mengajariku beberapa hal. Memasak, mencuci piring, melipat baju, dan lain-lain. Tapi, dia melakukan itu tanpa senyuman. Kuulangi, tanpa senyuman.
"Papi ke mana, Mam?" tanyaku saat tak melihat papi di meja makan.
"Papi udah sarapan duluan. Sekarang ada di ruang kerjanya."
Walaupun begitu, mami tak semasam saat pertama kali bertemu. Hanya saja, dia tak pernah sekali pun menunjukkan lengkungan bibirnya. Satu lagi, dia tak pernah menatapku saat berbicara.
"Hari ini, kamu belajar bikin makanan kesukaan Evan." Mami membuka suara saat kami telah menghabiskan makanan.
"Rendang, Mam?" tanyaku ragu.
Mami hanya mendeham. Lalu melangkah menuju dapur. Erika menatapku, menyunggingkan senyum.
Erika memberi isyarat agar aku mengikuti mami. Kemudian aku bergegas ke dapur. Di sana, sudah tersedia bahan-bahan untuk membuat rendang, kesukaan Evan.
Mami mengajariku cara membuat rendang. Mulai dari memotong daging, memilah bumbu, dan mencicipi rasa. Butuh waktu berjam-jam untuk menghasilkan rendang yang sebenarnya. Ah, melelahkan. Tapi kuakui, mami begitu mengagumkan. Walaupun dia mempunyai asisten rumah tangga, setidaknya dia benar-benar bisa mengerjakan pekerjaan rumah.
"Oh, ya, ini waktunya papi makan buah. Tolong kamu potong-potong buahnya ya," perintah mami.
"Iya, Mam."
Aku segera mengeluarkan beberapa macam buah dari dalam lemari es. Kukupas satu-persatu. Dan, krek ... jariku ikut terkupas.
"Awww!" jeritku.
Mami terperanjat. Dia menarik tanganku, mengarahkannya ke wastafel, dan membasuhnya dengan air, hingga darahnya hilang. Aku meringis.
"Udah, nggak usah cengeng. Lain kali hati-hati."
Erika menghampiri kami di dapur.
"Kenapa, Ars?" tanya Erika.
Aku hanya meringis, masih merasakan perih di jari telunjuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Ars!
Storie d'amorePRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah...