EVAN 22

333 31 6
                                    

Ruangan yang didominasi warna putih ini terasa sunyi. Hanya terdengar decak jarum jam dan suara yang berasal dari monitor di samping ranjang. Juga, dua orang yang duduk bersebelahan tapi saling diam, larut dalam pikiran masing-masing. Aku dan Ashkara.

Perempuanku itu sedang terbaring tak berdaya. Wajahnya pucat, dan desahan napasnya begitu lemah. Sekilas, dia hanya terlihat seperti sedang tidur nyenyak, dilengkapi dengan beberapa selang yang melekat di tubuhnya. Namun sebelum ini, dia telah memperjuangkan hidupnya.

"Dulu, gue sering banget janji sama diri sendiri ... kalo gue akan selalu jagain Arsyana. Tapi ...." Ashkara menjeda. Ada nada kekecewaan dalam suaranya.

Aku menoleh pada Ashkara, menunggunya melanjutkan kata-kata. Namun, dia menunduk, seolah menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Wajahnya tampak kusut--mungkin sama sepertiku--karena lelah menjaga Arsyana semalam tanpa tertidur, hingga detik ini.

"Ini salah gue, Ash," ucapku lirih.

Ashkara menghela napas panjang, lalu mendongak.

"Hidupnya nggak senyaman dulu. Gue nggak pernah lagi nemunin kebahagiaan dalam matanya sejak orang tua kami meninggal."

Aku memejamkan mata, memikirkan semua yang telah terjadi belakangan ini. Ya, Ashkara benar. Aku tak pernah memberikan kebahagiaan dalam hidup Arsyana. Selama bersamaku, hanya tangis yang didapat. Ini semua karena kesalahanku di masa lalu.

"Arsyana, satu-satunya cinta dalam hidup gue saat ini," lanjutnya lirih.

Arsyana, satu-satunya cinta dalam hidupku juga. Sejak mengenalnya, aku seperti kembali memiliki semangat hidup yang sempat redup. Bagaimana dada ini bergetar saat pertama melihatnya, bagaimana mata ini tak bisa berkedip saat menatap wajahnya.

"Gue nggak bisa bayangin bagaimana hidup gue kalo dia nggak ada," lanjut Ashkara seraya mengusap wajahnya dengan kasar.

Aku teringat semalam saat hendak menjemputnya untuk kembali tinggal di apartemen. Saat itu, Arsyana belum ke luar kelas, hingga aku berencana membelikannya satu buket bunga untuk menyambutnya.

Aku pikir hanya sebentar saja. Namun, di toko bunga aku sedikit kebingungan memilih bunga mana yang akan dibeli, hingga akhirnya pilihan jatuh pada mawar merah.

Saat hendak kembali ke mobil, aku bertemu Ashkara. Sekadar untuk meyakinkan Arsyana atas keputusannya yang mendadak, dan melihatnya baik-baik saja.

Nyatanya, kami menemukan Arsyana dalam keadaan tidak baik. Dia terkulai dekat kursi taman sambil memegangi perutnya. Rintihan dan lirihannya yang begitu menyayat hati. Juga, bagian bawah tubuhnya yang bersimbah darah.

Aku meremas rambut dengan kasar. Andai saja waktu itu aku bersikeras untuk menunggu Arsyana berdiam diri di mobil, mungkin kejadiannya tak akan seperti ini.

Satu lagi yang kuingat. Aku menemukan Renata dan Hilda di waktu dan tempat yang bersamaan.

Menyadari itu, aku segera beranjak dari sofa.

"Ash, ada yang harus gue beresin sebentar," ucapku pada Ashkara.

Dia mendongak, menaikkan alis. "Apa?" tanyanya.

"Gue titip Arsyana. Kalo dia udah siuman, lu langsung kabarin gue. Oke?"

Ashkara hanya mengangguk. Aku bergegas pergi ke luar ruangan. Menunju parkiran mobil, dan melesat dengan cepat dalam keramaian.

***

Tak butuh waktu lama, aku menemukan alamat rumah yang dicari. Aku menanyakan pada kenalan di cafe tempat biasa aku melepas penat satu tahun yang lalu.

Pintu terbuka. Di hadapanku saat ini, berdiri seorang perempuan yang di beberapa bagian wajahnya terlihat lebam. Wajah yang sangat kukenali. Dulu.

Aku segera mencengkeram lehernya, dan mendorongnya kuat-kuat hingga beradu dengan tembok. Aku tak mempedulikan jeritan Renata di belakangku.

"Apa yang udah lu lakuin sama istri gue?" teriakku penuh amarah di depan wajahnya.

Hilda hanya tersenyum sinis di sela batuk karena cengkeramanku semakin kuat.

"Jawab!" teriakku lebih kencang.

"Van, lepasin!" jerit Renata berusaha menarik lenganku. Aku menepisnya.

"Jawab! Atau, kalo nggak ...."

"Apa? Lu mau bunuh gue? Lakuin itu sesuka lu!" tantang Hilda dengan suara yang sedikit tercekat.

"Lepasin, Van! Hilda bisa mati!" Renata kembali menjerit.

Perlahan, aku melepaskan cengkeraman pada leher Hilda. Dengan amarah yang meluap, dan napas terengah karena emosi yang meledak.

Hilda terduduk di lantai, tangannya memegangi lehernya yang sudah memerah. Renata menghampiri, mengusap punggung Hilda.

Saat itu, aku menyadari ... tak ada perut buncit yang terlihat pada tubuh Renata. Detik itu juga, aku sadar ... merekalah yang menyebabkan Arsyana terbaring lemah di rumah sakit.

"Apa yang lu mau?" tanyaku datar pada dua manusia yang terduduk di lantai.

Hilda mendongak, wajahnya menyeringai. "Kamu," jawabnya.

"Maksud lu apa?" tanyaku tak paham.

"Udah aku kira. Kamu sama sekali nggak sadar atas perasaan yang selama ini aku tunjukkan," jelas Hilda.

"Perasaan apa?"

"Perasaan yang dulu menggebu si setiap malamnya. Kamu lupa?"

"Apa? Minum dan tidur bareng, setelah itu gue cabut. Perasaan mana yang lu maksud?"

"Itu, Van! Aku melakukan itu dengan hati! Kenapa kamu nggak menyadari itu?"

Aku mendengkus kasar. Tentu saja aku melakukannya tidak dengan hati sedikit pun. Aku hanya segelintir di antara banyaknya pria brengsek yang mencari kepenatan di malam hari.

Aku beralih menatap Renata. "Jelasin!" pintaku dengan dagu terangkat seraya melirik ke arah perutnya.

Renata menggeleng.

"Ini rencana aku," ucap Hilda. "Inget Vivian? Dia yang bilang sama aku, bahwa dia ketemu sama kamu di apartemen lounge bareng perempuan sialan itu!" lanjutnya.

Kembali, dadaku bergemuruh. Ada rasa nyeri ketika seseorang mencela perempuanku, istriku.

"Jangan pernah sebut dia perempuan sialan! Dia Arsyana, istri gue!" teriakku seraya mencengkeram leher Hilda lagi. "Berhenti sampai di sini, atau lu mati!" lanjutku mengancam.

Hilda terlihat sesak, tapi dia memaksakan untuk tersenyum--lebih tepatnya menyeringai.

"Lebih baik gue mati!"

"Oke!"

Cengkeramanku semakin kuat di leher Hilda. Renata kembali menjerit sambil terus berusaha melepaskan tanganku.

"Stop, Van!" Renata memohon.

"Nggak! Dia pantes mati!"

"Van, kamu nggak bisa kayak gini. Ini bukan sepenuhnya salah Hilda."

Aku menoleh pada Renata dengan tangan tak lepas dari leher Hilda. "Ya, ini salah lu juga."

"Bukan, Van. Ada seseorang yang ...."

"Lepasin!" teriak seseorang di balik pintu.

Aku menoleh. Laki-laki berperawakan kurus dan penampilan yang amburadul sedang menatap tajam. Dia seperti familiar di mataku.

Setelah aku mengingat-ingat, mataku mengerjap. Laki-laki itu ternyata Aldi, mantan kekasih Arsyana.

I Love You, Ars!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang