Jam pelajaran matematika yang membosankan dimulai. Mahendra si calon pemenang olimpiade versi pak Jalal, tentu saja yang paling gembira ria. Disampingku Ardan sibuk mencatat. Kutengok ia sedang membuat sebuah puisi. Sedangkan Emen dan Dodot, entahlah, aku tidak berani menoleh ke belakang. Takut kena semprot Pak Firman, guru matematika, dan disuruh maju ke papan mengerjakan soal.
Buku Bumi Manusia dari Bu Ita ada di kolong bangku. Ingin kubaca, tapi tebal sekali. Bagaimana caraku menyembunyikannya? Diselipkan kedalam buku paket pun tidak mungkin. Buku ini lebih tebal. Apalagi diselipkan dalam LKS.
Aku mengeluarkan novel itu dari kolong. Gambar di sampulnya seolah melambai, merayu agar kubuka. Mau tidak mau aku harus bisa membaca buku ini di sekolah. Sebab jika aku baca dirumah, aku takut ketahuan ibu dan berakhir buku ini akan dibakar seperti punya mbak Sekar.
Mataku tertumbuk pada isi tas Ardan. Buku paket yang ada didalam tasnya lumayan tebal. Tiba-tiba sebuah ide melintas di otakku. Ku keluarkan beberapa buku paket dan ku susun di atas bangku, menutupi lembar buku LKS ku. Aku mengambil buku LKS mata pelajaran lain dan meletakkan buku Bumi Manusia diatasnya. Disampingnya, kuletakkan buku LKS matematika. Tumpukan buku paket itu akan menutupi buku yang sedang kubaca dari jangkauan mata elang Pak Firman. Tapi seandainya masih tertangkap pun, LKS matematika siap menutupi novel tebal yang kubungkus dalam LKS pelajaran lain.
Aku mulai membaca buku novel tebal itu halaman demi halaman. Mulanya aku mengantuk, tapi kantukku hilang ketika Minke bertemu Annelies dan Nyai Ontosoroh. Entah kenapa aku begitu masuk kedalam cerita dan membayangkan diriku sebagai Minke. Sepertinya kami seumuran pula.
“Hey itu kamu yang dibelakang, maju!” suara pak Firman tiba-tiba mengagetkanku. Aku langsung menegakkan punggung menatap beliau. Ardan menyikutku pelan.”sssttt, jangan keliatan tegang.” Kata Ardan.
Aku kemudian mengendurkan punggungku lagi, lalu perlahan memasukkan buku novel tebal itu kedalam kolong.
“Berdiri kamu!” teriak pak Firman lagi. Spontan aku berdiri. Ardan menarik celanaku.
“Loh, ngapain kok kamu yang berdiri?!” tanya pak Firman.
“Kan tadi bapak suruh saya berdiri?” jawabku.
“Bukan kamu! Itu lho, anak di belakangmu!”
Spontan, seisi kelas langsung melayangkan pandangan ke arah Emen dan Dodot yang wajahnya berubah tegang. Ardan menarik celanaku agar duduk. Aku bicara sedikit berbisik ke Ardan,
“Aku pikir aku yang disuruh berdiri, lah liatnya ke arahku.” Kataku pada Ardan.
“Lho yaopo se kon iki, Mik. Kamu nggak tau, ta? Pak Firman itu kero. Juling!” jawab Ardan. “Makanya kamu dari tadi tak tarik. Matanya mungkin terlihat ke arahmu. Tapi pandangan sebenarnya ya ke arah Emen sama Dodot.”
Lah, mana ku tau kalau guru killer itu ternyata juling. Mungkin karakter Mad Eye Moody di film Harry Potter itu terinspirasi dari beliau.
Dibelakangku, Emen dan Dodot berdiri dengan wajah pucat pasi. Pak Firman datang menghampiri mereka. Beliau berdiri diantara bangkuku dan Emen yang memang depan belakang.
“Dari tadi saya lihat kamu asyik lihat kebawah terus, tapi tidak ada gerakan mencatat. Apa yang kamu sembunyikan dibawah meja? Keluarkan!” seru Pak Firman sambil menatapku. Aku terkesiap. Tenang, Mik, tenang. Beliau juling. Meski pak Firman melihat ke arahmu, tapi yang dimaksud beliau adalah Emen dan Dodot. Bukan kamu.
Emen dan Dodot menurut, mengeluarkan sesuatu dari dalam kolong bangku. PSP. Mereka asik main game selama pelajaran matematika rupanya.
“Dan kamu!” kali ini Pak Firman menoleh ke arah Mahendra yang duduk di depanku. Tunggu, jika dia melihat ke Mahendra, berarti yang dimaksud adalah aku? “Kenapa kamu tadi ikut berdiri? Apa yang kamu sembunyikan dalam kolong meja? Keluarkan!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Kecil Mikha
HumorMikha hanya seorang siswa biasa dengan nilai akademik biasa dan hidup biasa yang cenderung monoton. Hingga suatu hari ia ikut ketiga kawannya bolos jam upacara dan mendapat hukuman menulis. Dari situ akhirnya ia mulai menemukan hasratnya dibidan tul...