BAB XXI - Kabur

59 29 1
                                    

Ini hari sabtu. Tanpa terasa sudah enam hari berlalu sejak aku bergerilya ikut lomba mading tanpa ketahuan ibu. Selama itu juga, ibu tidak memberiku uang saku. Ibu juga tidak berbicara apapun denganku akibat aku membantah dan mengungkapkan sedikit bocoran rahasia mbak Sekar di masa lalu.

Tapi hari ini berbeda. Aku mengajak ibu bicara lebih dulu. Aku meminta izin secara baik-baik untuk pulang terlambat waktu. Toh ini hari sabtu, wajar kan jika anak muda mau nongkrong?

Untung saja ibu mengijinkan. Ibu bahkan memberiku uang saku yang lebih banyak dibanding biasanya. Mungkin sebenarnya ibu juga merasa menyesal saat kita bertengkar kapan hari. Hanya saja ibu gengsi meminta maaf dan memulai percakapan lebih dulu.

Jadi hari ini aku mengajak geng bangku pojok untuk bertandang ke convention hall. Mendukung mading sekolah kami. Aku juga mewawancarai mereka untuk bahan berita.

“Aku baru pertama kali ini datang ke acara kayak gini,” kata Ardan saat ku wawancara. “Ternyata madingnya bagus-bagus banget! Bisa kayak miniatur sama patung gitu, ya?”

Emen memberi tanggapan berbeda. “Disini ternyata banyak anak sekolah lain yang ikut, ya? Cantik-cantik pula, bikin betah lama-lama disini.”

“Ya jelas betah, Men, lha wong di sekolah yang kamu lihat muka pak Kamto!” sahut Dodot menyela. Edo yang sedang mengambil gambar reflek tertawa.

“He lambemu, direkam iku loh. Masuk video. Nanti gimana kalo dilihat pak Kamto?” tanya Emen.

“Lho, ini direkam ta? Yowes lak gitu sekalian aja!” Dodot berdeham sambil merapikan rambutnya. “Buat temen-temen di SMA Khatulistiwa Persada, Aku akan menemukan tujuh bola naga dan meminta tahu isi kantin pak Hisom gratis sampe lulus!”

Reaksi Dodot rupanya memancing Emen dan Ardan untuk ikut beraksi.

“Buat cewek-cewek SMA Khatulistiwa Persada yang masih jomblo, ayok kita kesini bareng-bareng. Jok belakangku masih kosong.” Ujar Emen sok ganteng.

Lha terus aku mbok dekek endi, Men?” sahut Dodot.

“Minta anter pulang aja sama tujuh bola naga!” jawab Emen membuat Edo tertawa sampai kameranya terguncang. Rambut Dodot memang jabrik seperti Son Go Ku saat berubah jadi super saiya.

“Buat seluruh murid SMA Persada Khatulistiwa,” kali ini Ardan yang angkat suara. “Belajar SMA itu seperti mengendarai sepeda, tapi bannya kebakar. Sepedanya kebakar. Jalannya kebakar. Karena kalian lagi di neraka. Dan pak Kamto penjaganya!”

Ardan lalu bersalto tiga kali dan berlari kencang menjauh dari kamera yang terus merekam tingkah petakilannya.

Aku hadir di convention hall hingga pukul enam sore. Ardan lalu mengantarku pulang. Kota pahlawan di malam minggu amatlah macet. Sekitar pukul tujuh barulah kami sampai di rumahku.

Aku masuk dengan rona wajah gembira. Seno masih asik bermain lego di ruang tamu. Aku mengacak-acak rambutnya tanpa alasan. Seno kesal dan berusaha memukulku, tapi karena aku bahagia, pukulan Seno terasa menggelikan.

“Sen, mana mama Sekar?” tanyaku tiba-tiba teringat mbak Sekar. Seno tidak menjawabku, terlalu asik bermain dengan legonya. Aku berinisiatif mengintip mbak Sekar dikamarnya. Ternyata benar, mbak Sekar terbaring lemah di kasurnya. Tubuhnya makin menyusut, meninggalkan tulang berbalut kulit.

“Mbak, belum ke dokter?” tanyaku pelan sambil mengusap lengan mbak Sekar. Kakak perempuanku membuka mata lemah. Tatapannya sayu dengan mata yang semakin cekung. Melihatku datang, mbak Sekar tersenyum simpul.

“Mbak masih lanjut minum air dukun tanpa periksa ke dokter?” tanyaku lagi. Mbak Sekar mengembuskan nafas berat. Sepertinya aku memang harus menemui mas Budi atau mbak Ratih untuk meminta bantuan dana. Tapi, tiga minggu lalu mbak Ratih sudah memberi mbak Sekar uang satu juta. Itu jumlah yang tidak sedikit. Apa tidak memalukan jika aku minta lagi?

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang