Suasana sekolah masih seperti biasanya. Pukul delapan pagi, aku berangkat menuju convention hall bersama Edo. Kali ini aku tidak harus menunggu pukul satu siang untuk pulang. Aku bebas menunggu mading hingga pukul delapan malam.
Malam minggu kemarin, pak Bon tidak banyak bertanya ketika aku datang dengan mata sembab. Beliau hanya membuatkanku secangkir kopi dan memindah frekuensi radio tuanya menjadi channel yang menyuguhkan lagu-lagu anak muda. Teriring lagu yang dulunya sering kudengar saat masih SD, namun tak pernah kuresapi maknanya. Lagu ini seolah menyindirku yang saat ini sedang menepi di sekolah yang sunyi.
Wajar bila saat ini ku iri pada kalian
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah
Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan...
(Last Child – Diary Depresiku)
Pak Bon membiarkanku tidur hingga siang menjelang sore. Rupanya di hari minggu sekolah masih saja ramai dengan anak-anak yang mengikuti ekskul. Kulihat Dodot sedang asyik membangun tenda dari jas hujan bersama kawan-kawan pecinta alam. Suara Ardan saat berteater juga terdengar sayup. Sedangkan aku bolos sehari dari kompetisi mading. Ingin menenangkan diri.
Setelah agak tenang, aku menceritakan kejadian malam itu pada pak Bon. Seperti biasa, pria tua itu menanggapiku dengan tenang. Tidak ada kata-kata menyudutkan atau menyalahkan seperti yang biasa ibu ucapkan padaku.
“Terkadang orangtua tidak menyadari bahwa kata-katanya sangat menyakiti anak. Semua orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Meski yang terbaik bagi orangtua, belum tentu baik untuk anak. Contohnya seperti kakakmu itu.”
Pak Bon mengisap rokoknya dalam dan menghembuskannya menjadi huruf O.
“Kamu sedang dalam fase mencari jati diri. Kebenaran akan dirimu. Selama ini mungkin kamu bukannya tak acuh dengan apa yang terjadi di rumah. Tapi memang, terkadang jika kamu melihat dari jarak dekat, semua akan terasa buram. Menjauh adalah jalan terbaik agar bisa melihatnya dengan lebih jelas. Asal jangan kabur.”
Kata-kata pak Bon membuatku merasa sedikit lebih baik. Itu sebabnya hari ini aku kembali ke convention hall dan bertahan hingga lomba hari ini usai. Untunglah rumah Edo searah dengan jalur ke sekolah.
Ketika aku datang, pak Bon menyiapkan semangkuk soto ayam untukku.
“Pak Bon bisa masak?” tanyaku takjub.
“Bukan saya yang masak. Itu tadi siang dikasih sama pak Hisom. Selametan, kambingnya melahirkan.”
“Yah, kambing lahiran aja pake selametan segala.”
“Ya di selametin lah, lha wong lahirnya kembar delapan. Panen raya pak Hisom.”
Aku terkekeh geli membayangkan wajah pak Hisom yang sering sial sebab tahu isinya sering dibayar lima padahal ngambil tujuh. Mungkin ini balasan untuk orang-orang yang sabar.
“Tadi siang ada yang nyari kamu, Mik.” Ujar pak Bon lagi.
“Siapa, pak?”
“Perempuan paruh baya. Kayaknya ibumu.”
Sendokku terhenti sejenak. Aku masukkan lagi ke mulutku, namun rasanya cekat di tenggorokan.
“Ngapain nyari saya? Dia yang ngusir saya.”
“Saya juga nggak mau nanya, Mik. Tapi wajahnya tadi keliatan kacau sekali. Mungkin ibumu menyesal.”
Aku tak membalas omongan pak Bon. Aku segera menghabiskan soto ayamnya. Berterimakasih. Lalu mandi dan pamit tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Kecil Mikha
MizahMikha hanya seorang siswa biasa dengan nilai akademik biasa dan hidup biasa yang cenderung monoton. Hingga suatu hari ia ikut ketiga kawannya bolos jam upacara dan mendapat hukuman menulis. Dari situ akhirnya ia mulai menemukan hasratnya dibidan tul...