BAB XVI - Penyakit Mbak Sekar

65 31 0
                                    

Hipertiroid. Itu diagnosa awal dokter untuk mbak Sekar. Selanjutnya, dokter meminta mbak Sekar untuk pindah berobat ke dokter bedah di Rumah Sakit besar, sebab fasilitas di klinik masih belum mumpuni. Mbak Sekar harus menjalani beberapa tes lagi untuk dilihat sudah separah apa penyakitnya.

Awalnya mbak Sekar memang mengeluh sering lemas, susah tidur, gemetar, sesak nafas dan susah menelan. Tapi mbak Sekar pikir itu hanya karena tekanan darahnya rendah, GERD nya kumat ditambah radang tenggorokan. Setelah munculnya benjolan di leher, baru mbak Sekar waspada dan periksa ke dokter.

“Gejala tiroid ini memang seringkali diabaikan,” ujar pak Dokter. “Kebanyakan orang baru menyadarinya ketika sudah muncul benjolan di leher. Padahal sudah harus diwaspadai ketika berat badan anda makin menurun drastis, mata terlihat menonjol, jantung berdebar, gemetar, susah tidur, lelah berkepanjangan, keringat dingin, susah menelan dan juga susah nafas. Tapi kebanyakan orang salah mengira itu sebagai masuk angin.”

Mbak Sekar terlihat shock. Air matanya menetes perlahan. Aku meremas tangan mbak Sekar, berusaha menguatkannya.

“Selanjutnya, anda harus menjalani beberapa tes lagi untuk dilihat apakah ada tanda-tanda kanker tiroid. Tapi dari gejala awal ini sudah begitu jelas bahwa anda terkena tiroid. Silahkan ke Rumah Sakit untuk periksa ke dokter bedah.”

Aku menuntun mbak Sekar yang masih gemetar keluar ruangan. Setelah mbak Sekar duduk, aku membawakannya teh dingin dari showcase. Mbak Sekar menolaknya. Kebetulan aku memang sedang haus dan uangku tidak tersisa lagi, jadi kuhabiskan saja tanpa rasa berdosa.

Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit berlalu. Mbak Sekar masih diam sambil gemetaran. Aku baru tau jika ciri-ciri hipertiroid adalah jantung berdebar. Kupikir jantung berdebar hanya dialami oleh orang yang sedang jatuh cinta, ternyata orang yang jatuh sakit juga mengalaminya.

“Gimana mbak, mau langsung ke Rumah Sakit atau pulang?” tanyaku setelah lima belas menit menunggu.

Mbak Sekar menoleh kearahku, “kamu ada pulsa, Mik?”

“Pulsa? Hape aja aku nggak punya.”

Mbak Sekar terlihat mengutuk diri. Setauku, mbak Sekar juga tidak memiliki hape. Dirumahku, hanya ibu yang punya. Itupun sebagai ganti telfon rumah yang sudah lama dicabut. Tepatnya sejak ayah pensiun dan kami tidak kuat lagi membayar tagihan telfon.

Mbak Sekar terlihat merogoh tasnya dan mengambil secarik kertas.

“Antar aku kesini, Mik.” Ujarnya. Aku membaca alamat yang tertera disana. Tidak jauh dari sini. Tapi, itu rumah siapa?

Pertanyaanku terjawab ketika sampai di rumah dengan pagar bercat hijau itu. Mbak Sekar memencet bel dan seorang perempuan keluar membukakan pintu. Aku mengenalinya sebagai mbak Ratih, sahabat mbak Sekar saat kecil dulu. Namun ketika kuliah, ayah mbak Ratih meninggal dan akhirnya mbak Ratih dan ibunya pindah ke rumah neneknya yang dekat dengan kampus mbak Ratih.

“Mas Budi ada, Tih?” tanya mbak Sekar sesaat setelah kami dipersilahkan masuk ke ruang tamu. Tunggu... Mas Budi?

“Mas Budi masih kerja, Kar. Nanti baru pulang habis maghrib biasanya. Kamu kenapa, Kar?” mbak Ratih balik bertanya dengan pandangan khawatir. Mbak Sekar tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia menangis sesenggukan di pundak mbak Ratih. Seperti sahabat lama, mbak Ratih balas memeluknya.

Sesosok perempuan tua keluar membawakan dua gelas es sirup. Rupanya itu Lek Marni, ibu dari mbak Ratih yang dulu juga tetanggaku. Ia terkesiap melihatku.

“Ya Allah Mikha, kowe kok dukur men koyok cagak listrik!” serunya yang berarti aku tinggi seperti tiang listrik. Aku hanya meringis. “Lha yo padahal Munaroh ambek Supa’i iku pendek, kok awakmu iso duwukur ngene. Opo yo awakmu ben dino mbadhog tugu pahlawan?”

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang