BAB XXVIII - WIS UDAH

79 20 0
                                    

Dua tahun berlalu sejak kompetisi mading. Aku lulus sekolah dan diterima kuliah di UGM angkatan 2014. Orang tuaku sepakat menjual rumah di Surabaya dan ikut pindah ke Jogja. Memulai lembaran baru, sebab Seno masih belum ditemukan hingga saat ini. Pencarian Seno resmi ditutup setelah hampir dua tahun berlalu tanpa hasil.

Pada akhirnya ayahku meminta maaf pada ibu. Karena menurutnya, yang berselingkuh pertama kali adalah
ayah. Sebab ayah masih mencintai mantan pacarnya yang sudah meninggal, bahkan setelah menikahi ibu. Dan masih saja tidak bisa mencintai ibu sebagai istri meski sudah puluhan tahun menikah.

Ayah dan ibu akhirnya berdamai menjadi sahabat. Ibu tidak lagi menuntut rasa cinta ayah untuknya dan menerima ayah sebagai partner. Sedangkan ayah, hingga saat ini ia tetap hanya menganggap ibu sebagai adik yang harus ia lindungi. Seperti janjinya pada sahabat lamanya, yang juga paman ibuku.

Kini ibu jadi pribadi yang lebih santai dan ramah. Ia tidak lagi terobsesi jadi kaya hingga menghalalkan segala cara. Ibu membuka warung makan yang ramai dikunjungi mahasiswa karena harga yang murah dan porsi yang banyak. Ibu bahkan sering memberi makan gratis di akhir bulan, sebab ibu teringat aku yang jarang pulang dan minta uang. Ibu takut aku kelaparan, jadi ibu memberi gratis makan agar aku diberi kebaikan yang sama oleh orang lain.

Sebenarnya bukan tanpa alasan aku ingin pindah ke Jogja. Alasan utama, tentu saja aku ingin mencari Ahmad Barbar. Alasan kedua, UGM adalah kampus terbaik untuk mengembangkan minatku di dunia tulis menulis. Banyak sekali sastrawan yang lahir dari sana.

Selain itu, aku mulai merintis sebuah web yang berisi artikel-artikel unik tentang isu terkini. Kebanyakan artikel yang ku tayangkan mengandung satir dengan gaya penulisan yang nyeleneh tapi lucu. Penyampaian kritik yang tajam namun dengan gaya kocak yang kiranya tidak menimbulkan sakit hati. Web ini kunamai bangkupojok.cox  untuk mengenang kawan-kawanku di SMA.

Pada awal pertama aku pindah ke Jogja, aku menyempatkan diri untuk mencari alamat toko parfum yang sudah dua tahun tersimpan di hapeku. Toko parfum itu lebih besar ketimbang gerai yang ada di Surabaya. Pegawainya juga lebih banyak. Uniknya, pegawai toko ini mengenakan seragam yang jawa banget. Selain itu, aroma parfumnya berbeda dengan parfum bibitan di toko Surabaya. Parfum disini lebih menonjolkan aroma eksotis khas Indonesia, lebih tepatnya khas Kraton Jogja.

Di dinding tokonya terpanjang foto lelaki arab tampan, sedang bersalaman dengan beberapa tokoh penting. Aku mengenali wajahnya sebagai Ahmad Barbar. Sisanya, hanyalah gambar-gambar bernuansa Jawa tempoe doeloe.

“Mbak, bisa minta tolong agar saya dipertemukan dengan abah pemilik toko ini?” pintaku pada pegawai toko yang berseragam kebaya kuno.

“Maaf, mas, dengan siapa dan ada keperluan apa?”

“Bilang saja, dari kerabat di Surabaya. Penting.”

Perempuan muda yang sepertinya sedikit lebih tua dari aku itu kemudian undur diri. Agak lama kemudian, ia kembali dan memintaku untuk pergi ke bangunan di belakang toko parfum besar ini. Rupanya rumah Ahmad Barbar ada dibelakang toko ini. Rumah yang amat besar, sejuk dan asri. Jauh sekali dengan kondisi rumah kami saat masih tinggal di Surabaya dulu.

Dekorasi dalam rumahnya ternyata jauh dari kata sederhana. Bisa dikatakan mewah. Dengan hamparan karpet bulu dan perabot yang bernuansa emas. Rasanya seperti ada di jalur Gaza, lengkap dengan serangan roketnya.

Sesosok pria tampan berambut klimis keluar hanya dengan mengenakan sarung dan baju koko. Meski berpakaian sederhana, tapi tak bisa menyembunyikan aura sultan menguar dari tubuhnya. Pria itu ternyata sangat tinggi. Sekitar 180cm lebih. Sepertinya tinggi badan hanya satu-satunya hal yang ia wariskan padaku, sebab aku bertubuh tinggi sedangkan ibuku berpostur pendek, seperti kata Lek Marni dulu. Jika Lek Marni berkata aku dikasih makan Tugu Pahlawan, maka orang ini pastilah suka nyamil Burj Khalifa.

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang