Hari sudah malam ketika kami sampai di rumah. Pemeriksaan yang dijalani mbak Sekar membutuhkan waktu cukup lama. Awalnya mbak Sekar di rontgen dan juga tes darah. Kemudian dokter menyuruh mbak Sekar membuka tangan dan meletakkan kertas di telapaknya. Benar saja, kertasnya bergetar hebat. Saat dokter membaca hasil rontgen dan tes darah, ia meresepkan obat dan meminta mbak Sekar kembali untuk pemeriksaan lanjutan dua minggu lagi.
Ibu menyambut kami dengan amarah karena pergi terlalu lama. Seno rewel dan menangis histeris. Tapi setelah tau apa yang dialami mbak Sekar, ibu malah menangis.
“Besok kita ke orang pintar langganan ibu. Dia bisa menyembuhkan penyakit apapun tanpa obat!” kata ibu ketika melihat struk harga obat yang harus dikonsumsi mbak Sekar. Jumlahnya memang mahal, hampir satu juta rupiah. Ibu pasti tidak punya cukup uang untuk pengobatan selanjutnya.
Menjelang tidur, aku memikirkan kembali kejadian tadi siang. Hal buruk yang dialami mbak Sekar karena keegoisan ibu. Kenapa ibu begitu terobsesi menjadi kaya? Nyatanya sampai saat ini hidup kami makin susah saja.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi mataku masih tak bisa terpejam. Kuputuskan untuk keluar rumah sejenak mencari udara segar. Dari toko, kulihat halaman rumah Dimas masih ramai. Lebih baik aku kesana sebentar.
Rupanya Dimas sedang asik rujakan bersama ayah dan ibunya. Dalam hati aku sedikit iri. Kapan aku bisa merasakan kehangatan keluarga seperti Dimas. Ibu Dimas menawariku duduk dan menuangkan teh dingin ke gelas.
“Tadi abis dari mana, Mik? Kok keliatannya Sekar bawa map besar. Kayak map dari Rumah Sakit?” ibu Dimas memulai pembicaraan.
Aku menceritakan hasil pemeriksaan mbak Sekar secara singkat jelas dan padat. Untuk bagian kejadian di rumah mbak Ratih, biarlah. Jangan sampai ada yang tau. Sebab disini tembokpun bisa mendengar. Kabar apapun pasti akan menyebar dengan cepat. Dan aku harus menjaga perasaan mbak Sekar agar masalah mas Budi tidak diangkat lagi. Toh kurasa semua orang disini juga sudah tau.
“Ya Allah, Mik. Saknoe mbakmu iku.” Ujar Ayah Dimas setelah aku selesai bercerita. “Coba mbakmu suruh urus Jamkesmas. Enak, iso berobat gratis ditanggung pemerintah.”
“Jamkesmas?” tanyaku heran. Apalagi itu?
“Iyo, mik. Itu bantuan pemerintah buat warga tidak mampu. Ayahmu sih enak, PNS, dapet Askes. Mbakmu kan udah diatas 21 tahun, udah nggak dapat askes lagi. Jadi mending suruh mbakmu ngurus Jamkesmas.”
“Halah, yah, si Mona itu apa ya mau? Wong sombong kayak gitu, pasti ndak mau pakai bantuan untuk rakyat miskin. Takut kelihatan miskin!” sahut ibu Dimas.
Benar kata ibu Dimas. Ibuku mungkin tidak akan mau mengurusnya karena tidak mau terlihat miskin. Sebab mengurus dokumen macam itu haruslah meminta surat keterangan tidak mampu dari RT RW setempat. Sedangkan yang jadi pak RT ku adalah suami mbak Hesti yang kapan hari baru saja cekcok dengan ibu.
“Yo repot kalo orang gengsinya gede. Ujung-ujungnya main ke dukun lagi.” Ujar ayah Dimas.
“Dukun?” tanyaku heran.
“Lho, kamu ndak tau ta, Mik? Orang-orang sini udah pada tau semua kalo ibumu sukanya main dukun!” sahut ibu Dimas dengan eskpresi kaget.
Aku menelan ludah. Lagi-lagi gossip tak baik tentang ibu harus masuk ke telingaku. Selama ini aku selalu diam di rumah, tak pernah sekalipun ibu menaruh sesajen. Mau main dukun bagaimana?
“Bu Diro itu pernah ketemu ibumu lagi ndukun. Rumah dukune dekat sama rumah saudaranya bu Diro. Pas lagi silaturahmi kok keliatan ibumu keluar dari rumah dukun itu bawa bungkusan. Kata saudara bu Diro itu dukun pasiennya banyak, termasuk ibumu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Kecil Mikha
MizahMikha hanya seorang siswa biasa dengan nilai akademik biasa dan hidup biasa yang cenderung monoton. Hingga suatu hari ia ikut ketiga kawannya bolos jam upacara dan mendapat hukuman menulis. Dari situ akhirnya ia mulai menemukan hasratnya dibidan tul...