BAB X - Rahasia Pak Bon

61 30 0
                                    

Catatan Mikha :

Ada sesuatu yang mengganjal di otakku. Tentang ibu dan mbak Sekar. Entah sejak kapan, keluarga kami dianggap seperti public enemy di lingkungan kampung. Aku tidak begitu mengingat detailnya. Hanya saja beberapa tetanggaku dulunya sering mengelus kepalaku dan berkata, “kasihan sekali kamu, nak, punya ibu kayak gitu.”

Kurasa ibu bukan orang jahat. Ia hanya terlalu protektif pada keluarga. Mungkin karena ayah terlalu pasif, jadi ibu yang harus memegang semua peran. Menjadi pengasuh, pelindung juga pencari nafkah. Apalagi ayah sudah pensiun, mbak Sekar sakit-sakitan, aku dan Seno masih belum bisa mandiri.

Mbak Sekar adalah produk gagal. Begitu selalu kata ibu. Sebab Mbak Sekar memilih menikah muda dan tidak melanjutkan kuliah. Mbak Sekar gagal jadi guru meneruskan profesi ayah. Tapi kenapa kami harus jadi guru? Kenapa kami, anak-anak ibu, tidak boleh memilih jalan apa yang kami inginkan?

Dulu saat aku masih kecil, mbak Sekar sering bercerita tentang film Ada Apa Dengan Cinta. Tentang Rangga yang selalu jadi pria idamannya. Mbak Sekar bahkan memanjangkan rambutnya agar terlihat seperti Cinta. Tapi kenapa mbak Sekar malah menikahi mas Budi yang sama sekali tidak mirip dengan Rangga? Aku ingat kata sindiran ibu terhadap mbak Sekar, “Yo ngono, keseringen ndelok pilem sampe gak iso mbedakno endi sing nyoto endi sing gak. Senenagne koyok Rangga, entoke malah Budi Rangga, Ra Ngganteng Blas!”*

Mungkin karena sering diejek sebagai Rangga – Ra Ngganteng Blas, yang artinya nggak ganteng sama sekali alias jelek, mas Budi akhirnya pergi meninggalkan mbak Sekar dan Seno. Sejak itu mbak Sekar mulai sakit-sakitan. Tubuhnya mengurus dan semakin lemah. Ia sering muntah-muntah karena asam lambung. Seno yang autis akhirnya diurus oleh ibu, sebab mbak Sekar terlalu lemah untuk mengurusnya.

Terkadang aku mengajak Seno mengobrol. Omongannya sering tidak jelas, karena memang di agak terlambat bicara. Tapi aku tau Seno mengerti. Seno tidak suka dengan sentuhan. Ia akan meronta ketika dipeluk. Tapi ketika aku sedih, ia mau mengelus rambutku pelan.

Ayah. Kurasa aku kehilangan figur ayah. Dalam ingatanku, ayah pernah jadi sosok yang amat menyenangkan. Mengajakku jalan-jalan serta membelikan mainan untukku. Tapi sejak ayah pensiun ketika aku kelas 5 SD, ayah tak pernah lagi bicara padaku. Ia hanya diam saja. Kadang ia menjaga warung ibu. Kadang juga menjaga Seno bermain.

Apa yang menyebabkan ibu jadi galak? Apa memang sebelum menikah ibu sudah galak? Apa tidak ada satupun kenangan masa muda yang bisa membuat ibu sedikit berbahagia?

Apa yang menyebabkan mbak Sekar lemah, padahal dulunya ia gadis yang ceria dengan semua mimpinya? Apa sebegitu besar cintanya pada mas Budi hingga ia rapuh saat suaminya pergi?

Apa yang menyebabkan ayah jadi pendiam? Apakah orang yang sudah pensiun selalu berubah jadi pemurung sebab tidak lagi bisa menafkahi keluarga? Apa sepenting itu nafkah bagi lelaki? Jika iya, kenapa mas Budi pergi tanpa menafkahi?

 

Yo ngono, keseringen ndelok pilem sampe gak iso mbedakno endi sing nyoto endi sing gak. Senenagne koyok Rangga, entoke malah Budi Rangga, Ra Ngganteng Blas!* : Ya gitu, keseringan lihat film sampai tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak. Sukanya yang seperti Rangga, yang didapat malah Budi Rangga, ngga ganteng sama sekali!

***

Siang hari ini sekolah terasa lengang. Banyak murid yang sudah pulang. Tapi sekretariat majalah siswa masih saja ramai. Edo sudah selesai mengedit buletin yang juga sudah disetujui oleh Laras. Tulisan pertamaku akhirnya tayang. Siap disebarkan senin besok.

Di aula, aku melihat anak-anak teater sedang duduk melingkar. Ditengah kulihat Ardan sedang berdiri membacakan sajak. Teman sebangkuku itu memang keren sekali. Dia adalah seorang ekstrovert, berkebalikan denganku yang pemalu, yang baru berani mengungkapkan isi pikiranku di kertas. Itupun karena arahan dari Bu Ita.

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang