BAB V - Foto Di Dinding

78 37 0
                                    

Kamar mandi putra siang hari ini lebih manusiawi dibanding sebelumnya. Aroma amonia berganti dengan cemara. Demi kesehatan indra penciuman kami, Dodot membawa dua botol pembersih lantai lagi dari rumah, hasil nodong ibunya.

Emen juga berkontribusi penuh dalam pembuatan kertas pengumuman. Ia tempel besar-besar di setiap pintu, dinding, juga di atas urinoir. Kata-katanya pun lengkap, mulai dari yang formal hingga yang upnormal.

“SETELAH BUANG AIR HARAP DISIRAM”

“KALO TIDAK BISA SIRAM WC, HARAP TAINYA DIBAWA PULANG”

“HANYA UNTUK BUANG AIR KECIL DAN BESAR, BUKAN TEMPAT BUANG SAMPAH, ROKOK, KERTAS CONTEKAN, APALAGI MANTAN!”

“JANGAN BUANG PUNTUNG ROKOK DI WC, KASIAN KECOANYA PADA KENA KANKER!”

“URINOIR HANYA UNTUK KENCING BERDIRI, BUKAN SALTO”

“BUANG AIR DENGAN IKHLAS, SIRAM SAMPE BERSIH TANPA HARUS MEMAMERKAN BENTUKNYA, WARNANYA, APALAGI AROMANYA.”

“WC INI SUDAH DIBERI KUTUKAN. YANG TIDAK MENYIRAM HINGGA BERSIH, DIJAMIN LANGSUNG WASIR TUJUH BULAN!”

Aku terkikik melihat kata-kata yang ditempel oleh Emen. Kamar mandi putra jadi tempat yang menyenangkan setelah kami bersihkan. Rasa-rasanya, tempat yang dulunya bagai neraka lapis satu ini, sekarang jadi tempat yang enak untuk bolos jam pelajaran. Juga merokok.

Ah, rokok. Dodot belum jera rupanya. Ia mengeluarkan sebatang lagi dari sakunya. Menawarkan pada Ardan yang menghisapnya bergantian. Untungnya Emen tidak mau.

“Jangan lupa kantongin lagi tuh puntung rokok. Kasian kecoaknya pada kanker ntar!” ujar Emen sambil menunjuk salah satu papan tempelannya.

“Ide bagus tuh, Men!” sahut Ardan. “Kita bisa kasih asbak disini, biar gak buang rokok sembarangan!”

“Dan beresiko ketauan lagi sama Pak Kamto?” aku memotong pembicaraan. Ketiga temanku mengangguk setuju. WC putra pasti jadi sasaran empuk untuk menggrebek siswa yang merokok, selain kantin.

“Kalian ngapain disini?” tiba-tiba sebuah suara mengagetkan kami. Saking kagetnya, puntung rokok yang dipegang Ardan langsung dimasukkannya kedalam mulut. Wajah Ardan langsung berubah menahan sampah yang hendak dimuntahkannya, tapi mulutnya langsung dibekap oleh Emen dan... Glek... Puntung itu tertelan begitu saja!

Rupanya sosok yang mengagetkan kami adalah Pak Bon! Dodot langsung bernafas lega, tapi tidak dengan Ardan yang panik karena benda asing masuk ke lambungnya.

“Pak Bon... Bikin kaget aja, kami kira Pak Kamto!” ujar Emen.

“Men, ini gimana perutku nelan barang berbahaya!” seru Ardan. “Kalo aku harus operasi, kamu kudu nyumbang!”

“Yeee... Salah sendiri! Siapa suruh ngerokok disini! Nggak kapok apa kudu nyikat WC seminggu. Masih aja diulangin. Lagian, ngerokok ngerusak paru-paru nggak takut, tapi ngerusak lambung kok takut!” jawab Emen santai membuat Ardan menjitak kepalanya gemas.

“Dasar kalian ini,” kata Pak Bon sambil tertawa memamerkan giginya yang ompong. “Kalian ngapain merokok disini. Saya kan sudah pernah bilang, kalau mau merokok di ruangan saya saja. Aman.”

Kami berempat meringis. Lalu mengekor Pak Bon masuk ke ruangannya. Ini kedua kalinya kami masuk ke ruangan Pak Bon. Tapi untuk pertama kali, aku memperhatikan ruangan ini dengan lebih seksama. Ukurannya lumayan lebar, sekitar 3x4 meter persegi. Jauh lebih lebar daripada kamarku yang Cuma 3x2,5 meter persegi.

Dalam ruangan Pak Bon, ada sebuah rak besi tempat meletakkan berbagai keperluan kebersihan. Berbagai macam botol cairan pembersih, alat-alat seperti pel, sapu, dan tongkat penyerok air ada disitu. Dibelakang rak, ada sebuah tempat tidur lipat dan tv tabung 14 inch. Sepertinya ruangan pribadi Pak Bon hanya disitu. Di kasur lipat ukuran 1x2 meter persegi.

Sedangkan di dekat pintu, ada sebuah meja pantry tempat Pak Bon biasa menyeduh kopi. Lengkap dengan kompor dan saluran air untuk cuci piring. Meja itu berbentuk L. Di sudut lainnya, ada magicom dan beberapa tudung saji. Mungkin itu meja makan Pak Bon. Sedangkan radio yang seringkali memutar lagu lawas itu diletakkan diatas kulkas, tepat disamping meja saji.

“Sini, duduk di dekat meja saja. Biar tidak kelihatan dari luar.” Kata Pak Bon sambil menyalakan kompor untuk memasak air panas. Dua gelas kopi ia sajikan, lengkap dengan singkong rebus.

“Dari dulu, senior-senior kalian itu kalo mau merokok ya kesini,” kata Pak Bon. “Mereka dulu juga ketauan merokok seperti kalian. Lalu dihukum membersihkan WC juga. Tapi setelah tau tempat ini, ya disini mereka merokok menemani saya.”

Aku memperhatikan dinding di ruangan Pak Bon yang ternyata banyak sekali terpajang foto. Aku bisa mengenali salah satunya. Itu foto Mas Tama dan geng anak-anak OSIS yang tahun lalu ngospekin kami. Sekarang Mas Tama dan kawan-kawannya sudah lulus dan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Foto lainnya tidak dapat kukenali. Tapi sepertinya para siswa di foto itu memiliki riwayat yang sama dengan kami. Para alumnus ruang BK. Juga para ahli hisap.

“Mereka itu sebenarnya para pemuda kreatif,” ujar Pak Bon lagi sambil menatap deretan foto yang terpajang di dinding. “Hanya saja, kreatif bagi mereka artinya masalah buat sekolah. Mereka di cap bandel karena merokok dan membolos jam pelajaran. Padahal dari percakapan saat membolos itu, sebenarnya mereka sedang membicarakan ide dan rencana yang baik untuk kedepannya.”

Pak Bon berdiri dari kursinya dan mengambil salah satu foto di tembok. “Ini namanya Dirga. Dulunya dia ketua ekskul pecinta alam. Sukanya naik gunung saja. Siapa sangka dia sekarang jadi musisi dan penulis buku.”

Melihat potret diri Dirga, rasanya aku tidak asing dengan wajahnya. Ardan langsung menyahut, “Dirga Baskara? Yang nyanyi lagu ‘Dalam Belai Rengganis' itu?”

Seketika aku ingat. Dirga Baskara adalah seorang vokalis yang bukunya best seller. Siapa sangka ternyata dia alumnus SMA Persada Khatulistiwa. Tak hanya itu, dia dulu juga kaum pembolos yang sering masuk ruang BK? Astaga...

“Nakal itu berbeda dengan jahat. Nakal bukan kriminal. Terkadang orang salah menafsirkan kata nakal. Hanya karena memiliki pemikiran atau sudut pandang yang berbeda, lantas di cap nakal. Hanya karena berpakaian dan berpendapat beda, langsung dianggap nakal. Hanya karena tidak bisa diam dan berani bersuara, lalu dibilang nakal. Padahal itu namanya cerdas, hanya saja kecerdasannya berbeda sehingga disebut nakal.”

Wow. Aku tidak menyangka seorang tukang bersih-bersih sekolah bisa memiliki pemikiran yang begitu luas. Mungkin ini sebabnya mengapa Rangga suka sekali menyepi di tempat Pak Wardiman. Jika kalian tidak tau siapa itu Rangga, kalian bisa googling dengan keyword Ada Apa Dengan Cinta. Mbakku dulu suka sekali melihat film itu.

“Pak, kenapa bapak Cuma jadi tukang bersih-bersih sekolah?” tanya Dodot tiba-tiba. “Padahal pola pikir bapak luar biasa! Kenapa Cuma jadi sebatas ini disaat harusnya bapak mampu jadi guru. Bahkan kepala sekolah!”

“Karena saya mencintai sekolah ini. Seluruh hidup saya dedikasikan untuk sekolah ini. Sampai mati, saya ingin tetap berada disini.” Jawab Pak Bon.

“Ih jangan gitu lah, pak. Jangan mati disini. Nanti makin angker saja sekolah ini.”

Pak Bon lagi-lagi terkekeh. “Mumpung kalian masih muda, puaskanlah hasrat kalian dalam mencari tau segala sesuatu. Tapi jangan sampai kebablas. Kalian harus tau batas. Sekolah ini hanya bangunan. Tapi yang namanya ilmu, kalian bisa cari dimanapun. Tidak hanya di sekolah. Jika ukuran kepintaran hanya nilai akademik, maka kalian tidak akan pernah menikmati karya Dirga, bukan?”

Kami berempat hanya bisa melongo menatap Pak Bon. Sebelumnya kami sudah cukup tercengang dengan kenyelenehan Pak Jalal. Kami tak menyangka bahwa seorang tukang bersih-bersih memiliki pemikiran yang lebih dalam lagi. Sekolah ini sungguh luar biasa.

Pak Bon kembali bangkit dan meletakkan foto Dirga yang berseragam putih abu-abu, sedang berpose bersama Pak Bon dan beberapa teman segengnya. Ada rasa bangga ketika mengetahui bahwa seorang artis terkenal masih satu almamater denganmu. Dan betapa kagetnya aku ketika akhirnya aku menemukan hal ganjil di foto Dirga. Aku mengenali beberapa sosok yang berpose bersama Dirga itu sebagai Pak Jalal dan Bu Ita!

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang