BAB III - WC Aroma Neraka

120 42 0
                                    

Durasi istirahat pertama hanya tiga puluh menit. Perutku rasanya keroncongan, tapi entah mengapa aku tidak bernafsu ke kantin untuk beli makan. Tempat itu rasanya jadi agak sedikit menakutkan bagiku. Aku tidak mau berakhir berdiri dua jam di depan tiang bendera hanya karena pergi ke kantin. Meski hukuman itu rasanya jauh lebih baik dibanding membersihkan WC.

WC? Ah iya, apa sebaiknya aku menengok teman-temanku di WC siswa saja? Meski aku lolos dari hukuman, tapi rasanya agak tidak setia kawan juga jika hanya aku yang selamat. Ya, meski aku juga tidak mau menjalani hukuman yang sama, sih.

Akhirnya kakiku melangkah ke WC siswa laki-laki yang melintasi ruang BK. Terlihat Bu Ita sedang membolak balik sebuah berkas. Tak ada lagi sosok Pak Kamto disekitar sana. Syukurlah, aku juga tidak ingin bertemu beliau lagi. Agak setengah berlari, aku segera menemui teman-temanku di WC laki-laki.

“Ugh... BAU!” aku berseru sesaat setelah masuk ke dalam WC. Wajah ketiga kawanku langsung menyembul dari tiga bilik berbeda.

“Mikha, my friend!” seru Ardan menghambur ke arahku. Aku langsung mengambil tiga langkah mundur. Bau!

“Kamu kesini mau bantuin kita kan, bro?” kali ini Dodot yang bicara dengan ekspresi setengah frustasi.

“Dengan segala bau pesing yang menempel di seragamku, aku nggak yakin masih bisa menikah!” sahut Emen dengan sikat WC di tangan.

“Hey, ini masih belum lima belas menit dan kalian sudah kehilangan kewarasan?” tanyaku sambil menutup hidung menahan bau.

“Jangankan lima belas menit, Mik. Lima menit aja kamu bakal gila karena menghirup aroma amonia!” sahut Ardan. “Apa sih yang dilakukan siswa disini? Memang di rumah mereka nggak pernah diajari membilas WC setelah kencing, ya?!”

“Sepertinya peradaban belum ditemukan disini!” seru Dodot menirukan dialog Squidward dari film kartun Spongebob. “WC ini harus di ruqyah!”

Kamar mandi siswa ini memiliki empat bilik yang ada WC jongkoknya dan empat urinoir di depannya. Seharusnya mereka bisa kencing di urinoir, tidak perlu masuk ke bilik WC, tapi entah kenapa bau amonia muncul dari berbagai sudut. Memangnya mereka kencing model bagaimana, sih?

Bismillahirrohmanirrohim...” ucapku berjalan perlahan memeriksa satu per satu bilik dan urinoir yang sempat dibersihkan ketiga kawanku. Jika aku ikut dihukum, pastilah bilik ke empat akan menjadi bagianku. Apakah aku harus ikut membantu mereka membersihkan bilik ke empat atas nama kesetiakawanan?

Allahu Akbar!” seruku kaget sesaat setelah mengintip ke bilik empat. Sosok benda coklat kekuningan muncul dari dalam WC dengan aroma yang membuat isi perutku berlomba keluar. “HOWEEEEKKKK !!!”

ASTAGHFIRULLAH HAL ADZIM,” teriak Emen. “MIKHA KESURUPAN!”

Aku tidak memperhatikan teriakan ketiga temanku. Yang kurasa hanyalah mual yang maha dashyat. Membayangkan jika aku harus membersihkan hasil metabolisme yang bersarang tanpa disiram. Peradaban memang belum ditemukan disini!

Kudengar suara Dodot dan Ardan mendekat hendak menyelamatkanku. Tapi setibanya mereka di depan pintu, reaksi mereka sama persis denganku. Muntah. “HOWEEEEK!!!”

“ARDAN DAN DODOT JUGA?! ALLAHU AKBAR!!! TOLONG!!! DI KAMAR MANDI ADA KESURUPAN MASSAL!!!” teriak Emen kencang. Dengan langkah lemas, aku menjauh dari bilik ke empat dan menarik Emen untuk mendekat. Kesurupan massal gundulnya!

Reaksi Emen tidak jauh berbeda. Dia juga akhirnya mengeluarkan cairan asam dari perutnya. Sisa pisang goreng yang kami makan di kantin pagi tadi membuatnya makin mirip benda yang teronggok di WC.

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang