BAB XX

49 29 0
                                    

Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Di teras, kulihat Seno sudah asyik bermain dengan kertas gambar. Sejak bayi, Seno memang selalu bangun subuh dan takkan tidur hingga pukul sepuluh pagi. Aku berjongkok di hadapan Seno yang tidak memedulikan kehadiranku.

Aku tau Seno tidak suka disentuh, apalagi dipeluk. Tapi aku ingin sekali memberitahunya. Siapapun ayahnya, bagaimanapun hancurnya kakakku karena kelahirannya ke dunia, itu bukan salah Seno dan dia akan tetap menjadi keluargaku.

Aku menuju toko untuk mengambil sebungkus mie instant. Ayah sudah ada disana. Tidur di sofa. Orang tua satu ini entah kenapa susah sekali disuruh tidur di dalam rumah.

“Ayah, bangun. Kenapa tidur disini? Semalam ayah nggak masuk rumah?” kataku sambil menggoyangkan lengannya pelan.

“Ayah nggak tidur, Mik.” Jawab lelaki tua itu dengan mata terpejam.

“Terus apa kalo nggak tidur?”

“Kan cuma merem, bukan tidur.”

Grrrr... Masih pagi sudah menyebalkan.

“Kamu mau bikin mie?” tanya ayah.

“Iya, yah. Jam segini kan ibu belum masak. Mikha mau masak mie aja terus langsung berangkat sekolah.”

“Bikinin ayah juga, donk. Makan disini aja, sama ayah.”

“Yeee, kenapa gak bikin sendiri aja sih, yah?”

“Ayah mau berbagi pahala untuk anak yang berbakti pada orang tua. Kamu mau pahala, nggak?”

Aku merengut. Orang tua satu ini ada aja jawabannya emang.

Aku berjalan ke dapur. Kubuka kulkas untuk mengambil telur dan berharap ada sisa nasi untuk kuhangatkan. Semalam aku mengurung diri di kamar, jadi tidak ikut makan malam. Hari ini aku sudah berniat akan membuat sarapan dan membawa bekal makan sendiri, sebab aku yakin pasti lagi-lagi aku tidak akan diberi uang saku.

Aku melihat sekotak tupperware berwarna hijau di rak piring. Dulu ibu pernah mengomeliku panjang lebar saat aku lupa membawa pulang kotak makanku. Gara-gara itu, sekarang aku hanya memakai kotak bekal biasa. Bahkan terkadang malah Cuma bawa lemper. Kali ini kuletakkan bekal makanku dalam kotak hijau itu. Aku akan balas dendam meninggalkannya di sekolah sampai uang sakuku kembali. He he he.

Usai menyiapkan semuanya, aku membawa makanan ke toko. Sarapan bersama ayah. Tak sampai lima belas menit kemudian, hidangan penuh karbohidrat itu habis sudah. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi dan aku memutuskan untuk berangkat sekolah lebih dulu tanpa perlu berpamitan dengan ibu.

“Mik,” panggil ayah. “Kamu dihukum tanpa uang saku lagi, ya?”

Aku mengedikkan bahu, “kemungkinan besar iya, yah.”

Ayah kemudian membuka lipatan sarungnya dan mengeluarkan selembar uang kertas berwarna biru.

“Kamu bawa aja.”

Aku mendongak menatap ayah. Sepertinya ini pertama kalinya setelah enam tahun berlalu, ayah memberiku sesuatu. Saking terharunya, aku sampai tidak bisa berkata-kata. Hanya ingin menyembunyikan air mata.

“Nggak usah berterimakasih. Kalau mau berterimakasih, kejarlah mimpimu jadi jurnalis. Tunjukkan ke ayah. Ayah akan selalu setia membaca tulisanmu.”

***

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh saat teman sebangkuku datang. Aku merasa bersalah karena kemarin membawa helmnya tanpa ijin. Aku tidak punya hape dan tidak tau nomer hape Ardan, jadi aku tidak bisa memberitahunya bahwa helmnya ada padaku.

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang