Catatan Mikha.
Aku harus menulis. Aku tidak boleh berhenti menulis. Sebab pensil yang tumpul jauh lebih baik dari ingatan yang tajam.
Buku harian mbak Sekar yang kutemukan menjadi cambuk untukku kembali menulis. Mbak Sekar menuangkan sejarah hidupnya abadi dalam buku itu. Jika mbak Sekar tidak menulis, aku tidak akan pernah tau siapa aku sesungguhnya. Dan untuk mengenang mbak Sekar, aku tidak akan membiarkannya hilang dalam ingatan. Ia akan abadi dalam tulisan. Setidaknya, tulisanku.
Satu bulan yang lalu aku hanya anak biasa yang tak tau mau jadi apa. Tiba-tiba perhatian guru mengarah padaku dan membuatku jadi jurnalis perwakilan sekolah. Beberapa saat kemudian aku kehilangan keponakanku, dilanjut dengan kakakku. Dan kini aku mendapati kenyataan bahwa orang yang kupanggil ayah, tak ada darahnya yang menetes padaku. Justru manusia yang kupanggil keponakan rupanya adalah adik satu ayah lain ibu. Lalu harus bagaimana aku menyebut kakakku yang satu ibu beda ayah, sedangkan anak dari kakakku adalah adikku yang satu ayah beda ibu?
Sinetron tivi ikan terbang pasti tertawa melihat ini.
Buku harian mbak Sekar membuka segala hal yang selama ini orangtuaku tutupi. Bahkan mbak Sekar pun akan gemetar dalam liang kuburnya jika tau kenyatannya akan serumit ini.
“Ahmad itu ayah kandungmu.” Kalimat yang diucapkan ayah degan sangat ringan, justru terasa berat mengguncang kewarasanku. Siapa pula itu Ahmad?
Mengalirlah sebuah cerita singkat untuk waktu yang panjang.
Ibuku, Munaroh, berasal dari keluarga yang sangat miskin di desa terpencil. Hutang ayahnya pada lintah darat membuat ibu yang baru lulus SMP tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ayahnya menjual ibu ke lintah darat itu sebagai ganti karena tidak mampu membayar hutang yang habis untuk berjudi.
Adik bungsu dari nenekku datang untuk menyelamatkan. Dilunasi hutang kakekku lengkap dengan bunganya. Dibawanya ibuku ke kota pahlawan yang sekarang ini ia tinggali. Diperkenalkan gadis desa itu pada sahabatnya yang bujang lapuk, Supa’i, ayahku. Atau orang yang selama ini kupikir adalah ayahku.
Supa’i menjadi bujang lapuk bukan tanpa sebab. Kekasihnya meninggal kecelakaan sesaat sebelum mereka menikah. Supa’i menutup hati untuk siapapun dan baru membukanya kembali ketika sahabat baiknya memintanya untuk menjaga kerabatnya. Yakni Munaroh. Ibuku.
Mereka akhirnya menikah. Ayahku kemudian membiayai ibuku agar bersekolah kembali di SMK jurusan tata busana. Sebab, ibunya ayahku atau bisa kita sebut nenek, punya toko konveksi seragam di Pasar Pucang. Harapannya, kedepan ibuku akan bisa membantu di toko.
Selama ini nenekku dari pihak ayah dibantu oleh bulekku, yang sampai saat ini tidak pernah ku kenal. Karena ayahku terlambat menikah, maka bulek yang berkeluarga lebih dulu. Yang artinya, bulek pindah ke rumah suaminya, meninggalkan nenekku dan ayahku di rumah ini, sebab kakekku sudah lama tiada. Karena ayahku akan mewarisi rumah induk, maka nenekku mewariskan toko pada bulekku.
Singkat cerita, ibuku kembali bersekolah dan menjadi remaja ibu kota. Ia kemudian mengubah namanya menjadi Mona. Terdengar lebih modern dibandingkan Munaroh. Dan jauh lebih baik dibandingkan Munafik.
Sayangnya, selama tiga tahun sekolah, gejolak remaja membuat ibu jatuh cinta pada anak seumurannya. Ayahku memang terlalu tua untuknya. Selisih 20 tahun membuat ayahku lebih pantas dipanggil om daripada suami. Ibuku jadi seperti simpanan om-om. Untuk itulah ibuku berselingkuh dengan teman sebayanya, untuk menutupi status pernikahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Kecil Mikha
HumorMikha hanya seorang siswa biasa dengan nilai akademik biasa dan hidup biasa yang cenderung monoton. Hingga suatu hari ia ikut ketiga kawannya bolos jam upacara dan mendapat hukuman menulis. Dari situ akhirnya ia mulai menemukan hasratnya dibidan tul...