BAB XIX - Lomba Mading 3D

50 28 0
                                    

Dua minggu berlalu sejak kejadian di desa Dukun. Seharusnya mbak Sekar kembali ke dokter untuk kontrol. Tapi ibu menolak karena merasa air rendaman batu bertuah milik Mustofa sudah lebih dari cukup. Padahal sampai saat ini, tidak ada perubahan apapun pada mbak Sekar. Bahkan jalannya pun semakin sempoyongan. Mbak Sekar harus berpegangan pada sesuatu agar tidak jatuh karena lemas dan gemetar.

Selain itu, aku sudah menamatkan tetralogi buru. Sebagian ku baca di sekolah melalui ipad Ardan. Sebagian lainnya kubaca di rumah, novel pinjaman dari sekolah. Jika situasi di rumah tidak memungkinkan, aku mengungsi ke rumah Dimas. Disana aku bebas membaca hingga puas.

Rupanya Minke adalah bapak jurnalis pertama Indonesia. Ini sebabnya mengapa Bu Ita menyuruhku membacanya tuntas. Perjuanganku sebagai jurnalis amatir sekolah sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan Minke yang berjuang untuk menyadarkan bangsanya melawan penjajahan melalui tulisan-tulisannya.

Dari Minke, aku jadi bersemangat untuk merubah sesuatu melalui tulisan. Ku coba untuk merubah nasibku dulu. Kompetisi mading dimulai hari ini. Aku akan menulis sebaik-baiknya, supaya terpilih menjadi jurnalis terbaik. Meski nasibku mungkin tidak berubah jadi lebih baik, setidaknya karyaku pernah ada dan nyata. Sebab, pensil yang tumpul jauh lebih baik dibanding ingatan yang tajam. Maka menulislah, tentang apapun itu.

Suara ketukan membuyarkan konsentrasi seisi kelasku yang sedang terhimpit rumus kimia. Kulihat Nawang berdiri di depan pintu, meminta ijin masuk dan memberi selembar surat pada guru yang sedang menulis di papan. Guru itu memicingkan matanya sejenak.

“Mikhail Hakiki?” panggilnya. Aku berdiri di bangkuku. “Kamu dapat izin untuk pergi ke kompetisi mading.”

Aku segera meraih ranselku dan berpamitan pada guru itu. Rasanya seluruh badanku bergetar karena adrenalin yang memuncak, bukan gejala hipertiroid. Di sekre, tim mading sudah berkumpul. Siap untuk berangkat. Wulan mendata siapa saja siswa yang punya kendaraan. Sisanya akan naik di mobil orang tua Nawang.

Aku kebagian boncengan dengan Wening, pakai motor Wening tentu saja. Sedangkan Laras dibonceng Edo Brokoli. Edo bahkan tidak perlu memakai helm, sebab rambut keritingnya sudah persis helm itu sendiri. Aku sendiri agak was-was karena harus berboncengan dengan Wening. Apakah dia benar-benar Wening? Atau penunggu sekolah yang menyamar?

“Ih, mas Mikha apaan sih! Aku beneran Wening! Nih, aku baca ayat kursi kalo gak percaya!” seru Wening saat aku memperhatikan apakah kakinya benar menapak tanah atau tidak.

Jarak dari sekolahku ke gedung convention hall tempat kompetisi dilaksanakan agak lumayan jauh. Ditambah kemacetan kota pahlawan, bisa menghabiskan waktu sekitar 45 menit untuk tiba di lokasi. Ini pertama kalinya aku ke tempat ini. Sebab selama ini aku tidak pernah kemana-mana. Sepulang sekolah langsung ke rumah. Jangankan ke convention hall macam ini, ke mall saja aku bisa dihitung jari.

Suasana di dalam gedung sungguh ramai. Banyak sekali anak-anak seumuranku berkumpul dengan seragam yang berbeda-beda. Rasanya seperti ketika aku mengikuti MOS saat masih jadi siswa baru yang berkumpul dengan banyak anak dari sekolah yang berbeda. Saking kagumnya, lagi-lagi mulutku ternganga, lupa ditutup.

Nawang dan Wulan mengarahkan kami ke tempat dimana seharusnya kami berada. Setelah tau dimana tempat kami, aku dan beberapa anggota tim yang lelaki keluar untuk mengangkut mading 3D bersama-sama. Sebagian menata mading 2D dan sebagian lainnya yang merupakan tim mading on the spot juga mulai menata lapaknya.

“Mikha, Edo,” Nawang memanggil kami untuk mendekat ke arahnya. “Kalian berdua adalah tim Jurnalis Blog. Edo, kamu bagian fotografer. Mikha, kamu penulisnya. Kalian harus bekerja sama memuat berita di blog.”

“Blog?” tanyaku.

“Iya, blog. Tulisanmu akan dimuat di internet. Ini tahun pertama mading ditampilkan online. Jadi, Mikha, kamu harus tulis berita sebagus mungkin. Dan tugas tambahannya, kamu buat narasi pendek untuk video yang akan diedit oleh Edo. Blog kita harus beda. Kita akan tampilkan konten digital yang menarik!”

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang