BAB XV - Ih, kok julid?

53 30 0
                                    

Selepas bel pulang sekolah berbunyi, aku segera menuju sekre Majalah Siswa. Sekre masih sepi, tapi tidak sampai 5 menit kemudian, mulai ramai oleh tim mading 3D yang melanjutkan pembuatan mading. Aku segera menemui Nawang dan tim Bulletin untuk mohon izin tidak bisa aktif untuk beberapa saat.

“Aku nggak diizinin ibukku ikut ekskul.” Ujarku singkat pada Nawang, Laras, Wening dan Edo. Tim Bulletin terlihat saling pandang. Sedangkan Nawang menghembuskan nafas berat.

“Kamu mau keluar, Mik? Sayang banget, padahal tulisanmu bagus. Buletin kita kemarin sukses besar.” Sahut Nawang.

“Aku nggak tau, Naw. Pada akhirnya aku menyadari ternyata aku suka nulis. Tapi ibuku...”

“Kamu dihukum?”

Aku mengangguk. “Aku nggak dikasih uang saku dua minggu kedepan.”

“Jadi hukumanmu Cuma sekedar uang saku aja, kan?”

“Sejauh ini masih itu saja. Enggak tau kedepannya.”

Nawang lagi-lagi menghembuskan nafas berat.

“Mik, kompetisi mading tinggal dua minggu lagi. Selama dua minggu kompetisi, kita juga ada lomba jurnalis terbaik. Aku sudah menggadang-gadang kamu sebagai calon jurnalis yang ikut lomba. Selama dua minggu ini, kamu turutin ibumu dulu. Nggak papa. Semoga setelah hukumanmu selesai, kamu bisa balik ke Masis lagi untuk ikut kompetisi jurnalis terbaik.”

Aku hanya bisa mengangguk. Berharap dua minggu kedepan hukumanku sudah usai dan ibu bisa memberiku kesempatan sekali saja untuk mengikuti kompetisi. Seumur hidup aku tidak pernah ikut lomba, apalagi memenangkannya. Tapi gejolak darah mudaku kali ini seperti memberontak. Aku ingin sekali saja dalam hidupku, mencoba sesuatu yang baru dan mewujudkannya.

Untunglah Nawang dan anak-anak Masis lainnya bisa memahami kondisiku. Siang ini, setelah berpamitan dengan tim Masis yang takkan kutemui selama dua minggu kedepan, aku langsung pulang ke rumah. Menjadi Mikha yang membosankan seperti biasanya selama dua minggu. Berharap semoga dua minggu kedepan setelah uang sakuku kembali, ibu juga bisa memberiku izin untuk mengikuti kompetisi mading selama dua minggu.

“Assalamualaikum, Mikha pulang!” sapaku pada seisi penghuni rumah, tapi tidak ada yang menyahut. Ayah terlihat tidur di sofa toko. Kulihat jajanan di toko ibu berselimut debu tebal. Sepertinya memang tokoku semakin lama semakin tidak laku. Anak-anak kecil yang menjadi target pasar lebih suka beli di toko sebelah.

Waktu aku SD dulu, toko di rumahku sangat ramai. Teman-temanku banyak membeli jajan disini. Apalagi ketika mbak Sekar tidak melanjutkan kuliah. Mbak Sekar ikut jaga toko dan menambah jajanan seperti sosis, nugget dan juga minuman rasa-rasa dibungkus plastik. Ini kafe Seno, kata mbak Sekar. Tapi karena kafe Seno ramai oleh bocah, suasana jadi berisik dan Seno makin rewel tidak bisa tidur. Ibu jadi marah-marah dan mengusir anak-anak. Akhirnya mereka pindah ke toko sebelah hingga sekarang berganti generasi.

Saat Seno sudah lebih besar, ibu menyuruhku untuk mengajak teman-temanku kembali beli jajan di toko kami. Sayangnya, kondisi mbak Sekar saat itu sudah mulai sakit-sakitan sehingga ibu yang mengambil alih kafe Seno. Awalnya anak-anak seumuranku di kampung tidak keberatan untuk kembali njajan di toko kami. Tapi makin lama, toko kembali sepi. Mereka kembali ke toko sebelah. Sebelumnya aku tak pernah peduli alasannya. Tapi kini naluriku tergelitik untuk mencari penyebabnya.

“Yah,” panggilku pelan sambil menepuk lengannya. “Bangun, yah, tidur di dalem aja.”

Ayah membuka matanya pelan dan menguap.

“Sudah pulang kamu, le?”

“Sudah, yah. Ayah tidur dalem aja. Biar Mikha yang jaga toko.”

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang