BAB XVIII - Ke Rumah Dukun

71 30 1
                                    

Pagi ini sama seperti biasa. Aku tidak sarapan, hanya membawa sebuah lemper untuk kumakan di perjalanan ke sekolah. Biasanya hanya aku yang rapi dan sudah mandi, tapi hari ini ibu juga terlihat rapi.

“Mau kemana, bu?” Tanyaku sebelum berangkat.

“Mau ngobatin mbakmu.” Jawab ibu singkat.

“Ke rumah dukun?” tanyaku lagi teringat ucapan ibunya Dimas semalam.

“Hush, ngawur aja! Beliau itu kyai pinter. Bukan dukun!” sanggah ibu memberi pembelaan.

“Memang prakteknya dimana, bu?”

“Jauh! Lagian ngapain sih kamu nanya-nanya? Sana lho, ndang berangkat sekolah!”

“Ya Mikha Cuma pengen tau aja. Siapa tau temen Mikha ada yang sakit dan butuh pengobatan alternatif. Biar Mikha sarankan kesana juga.”

“Kalo temenmu butuh alternatif, lewat ibu aja. Biar ibu yang bawa kesana!”

Raut wajah dan intonasi ibu tiba-tiba berubah lebih bersemangat. Aku jadi curiga. Ku pancing lagi dukun tempat dimana ibu hendak membawa mbak Sekar berobat.

“Iya nanti Mikha bawa lewat ibu. Tapi paling nggak, Mikha kudu tau donk nama kyainya siapa dan berobatnya di daerah mana.” Tanyaku lebih menyelidik.

“Namanya Kyai Mustofa. Rumahnya jauh di Gresik perbatasan Lamongan. Banyak sekali pasiennya yang sembuh. Pokoknya kalo ada temenmu yang butuh, hubungi ibu aja.”

Jawaban dari ibu menyudahi percakapan kami. Sambil mengunyah lemper, aku berjalan kaki menuju sekolahku. Memikirkan clue dari ibu terkait lokasi dukun tempat mbak Sekar akan dibawa. Aku takut mbak Sekar malah jadi gila diguna-guna.

“Mik!” sebuah suara memanggilku dibarengi dengan gas yang di blayer. Aku menoleh ke sumber suara. Rupanya Ardan dengan motor CB tuanya.

“Ayok bareng!” ajak Ardan dari atas motornya.

Aku mendekat ke arah Ardan dan tiba-tiba memiliki ide gila.

“Dan, hari ini bolos aja, yuk!” ajakku dengan mata berapi-api.

Hah, gendeng! Ate mbolos nang ndi?

“Ikut aku ngikutin ibukku!”

Tanpa pikir dua kali, Ardan mengiyakan ajakanku. Tapi kali ini masalahnya adalah helm. Ardan hanya punya satu.

“Ke sekolah dulu aja. Pinjem helm pak Bon. Ntar dikembalikan.” Sahut Ardan.

Setelah mengambil helm di sekolah, kami kembali ke rumahku. Aku melihat motor pink ibu keluar dari gang, berboncengan dengan mbak Sekar. Seingatku, mbak Sekar memang tidak bisa naik motor. Kemana-mana selalu diantar ayah atau ibu.

Aku meminta Ardan mengikuti ibu dengan jarak yang agak jauh. Takut ibu menyadari kehadiran kami. Meski kami memakai jaket, tapi tetap saja celana abu-abu kami terlihat seperti seragam anak SMA.

“Mik!” seru Ardan sambil menoleh ke arah belakang tempatku dibonceng. “Ibumu ini mau kemana? Kok jauh banget!”

“Aku juga gak tau, Dan! Tapi kata ibu tempatnya memang jauh, di Gresik perbatasan Lamongan!”

Motor ibu berbelok menjauhi keramaian pantura. Agak lama, lalu lintas berubah menjadi hamparan tambak. Kemudian berubah lagi menjadi sungai yang besar. Disitu, kulihat ada gapura bertuliskan “Anda Memasuki Wilayah Dukun”.

Tak lama kemudian, motor ibu berhenti di sebuah rumah reyot yang dikelilingi banyak pohon. Disekitarnya juga terhampar bunga-bunga berwarna ungu. Aku meminta Ardan berhenti agak jauh dari situ untuk mengintai ibu. Untungnya tak jauh dari rumah reyot itu ada sebuah warung kopi giras.

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang