BAB XXIII - Pesan Terakhir

59 25 0
                                    

Kematian mbak Sekar diumumkan dari corong masjid. Beberapa tetangga membantu menyiapkan peralatan memandikan jenazah. Sebagian sibuk meronce bunga. Sebagian lagi mengaji. Sangat sedikit tetangga yang membantu proses pemakaman mbak Sekar, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Biasanya jika ada yang meninggal, beberapa warga akan njagong – begadang menunggu rumah duka hingga tiba waktunya jenazah dimandikan. Karena mbak Sekar meninggal saat maghrib, maka ia akan dikuburkan keesokan paginya. Namun kenyataannya, saat ini tak ada tetangga yang njagong. Sebegitu dimusuhinya keluarga kami hingga tidak ada seorangpun yang mau begadang. Kecuali Dimas.

Dimas datang menemaniku. Dimas juga menggerakkan seluruh anggota karang taruna agar ikut bermalam dirumahku. Kali ini ibu tidak ngomel.

“Sabar ya, Mik.” Ujar beberapa teman berusaha menguatkanku. “Aku baru tau kalo ternyata mbakmu sakit parah. Besok aku sama anak-anak bakal bantu muter-muter nyari Seno.”

“Iya, Mik. Aku juga udah posting berita hilangnya Seno di sosmed. Banyak yang komentar bakal bantu nyariin. Udah di up di radio juga.”

Aku hanya bisa pasrah dan berterimakasih atas bantuan mereka. Setidaknya masih ada yang mau peduli pada keluarga kami. Kedepannya aku berjanji akan bersikap lebih baik dan tau diri.

Paginya, usai pemakaman, aku tertidur pulas hingga siang menjelang. Tubuhku amat lelah. Begitu juga ayah dan ibuku. Tidak ada satupun dari kami yang ke kantor polisi untuk menanyakan perkembangan terbaru dari pencarian Seno. Kami pasrahkan pada polisi, sebab hingga lima hari kedepan, kami akan disibukkan dengan tahlilan mbak Sekar.

Suara ketukan di pintu rumah membuatku bangun dari kasur. Rupanya teman-temanku di sekolah datang berkunjung. Ada geng bangku pojok – Ardan, Emen da Dodot. Ada tim mading – Nawang, Wulan, Laras, Wening dan Edo. Juga ada pak Bon, Bu Ita dan pak Jalal.

Aku membangunkan ayah dan ibu untuk menyambut tamu agung dari SMA Khatulistiwa Persada. Ibu mengeluarkan air gelas dan ayah menyalami mereka semua.

Usai berbasa-basi, mereka pamit undur diri. Bu Ita sempat menanyakan apakah aku masih ingin menyelesaikan lomba mading yang hanya tinggal empat hari lagi. Aku menggeleng.

Kali ini aku menurut pada Ibu. Aku akan berhenti dari mading. Hidupku tidak menjadi lebih baik setelah aku mengikuti mading. Menjadi jurnalis hanya membuat aku jadi lebih banyak tau. Tapi untuk apa mengetahui banyak hal jika tidak bisa berbuat apa-apa saat hal buruk terjadi.

Karena memberi makan pada rasa penasaranku yang berlebihan, aku menggali berita hingga tau apa penyakit mbak Sekar. Aku bahkan mengikuti ibu hingga ke dukun abal-abal yang aku tau tidak akan bisa menyembuhkan mbak Sekar. Aku juga sudah diberi tau langkah selanjutnya untuk mengobati kakakku. Aku tau, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu apa gunanya aku tau banyak hal jika tidak bisa mengatasinya?

“Mikha, kami turut berduka cita atas kematian kakakmu,” ujar Bu Ita. “Tapi jangan terlalu menyalahkan dirimu. Kembalilah jika hatimu sudah siap. Tim Mading akan selalu menunggumu.”

Usai mereka pergi, ibu ke dapur untuk memasak persiapan tahlilan. Biasanya akan banyak tetangga yang bertandang membawa beras, gula, minyak, atau uang. Tapi selain teman-temanku, tak ada satupun yang datang takziyah hari ini. Ibu hanya memasak bahan yang tersedia di kulkas, yang rencananya akan digunakan hingga akhir minggu. Tapi semuanya diolah untuk tahlilan Rabu malam ini.

Ayah membersihkan sisa-sisa kotoran di karpet. Aku memutuskan untuk membereskan kamar mbak Sekar. Sebuah kertas muncul dibalik sprei saat aku melepasnya untuk kuletakkan di cucian. Sebuah surat dari mbak Sekar.

Selama ini aku hidup dalam tekanan dan hinaan. Bukan mauku menjadi anak yang gagal dan menyusahkan. Tapi apapun yang kulakukan akan selalu salah di mata ibu. Nampaknya kelahiranku adalah sesuatu yang salah pula. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku takkan menjadi beban keluarga lagi. Hilangnya Seno, biarlah, tak usah dicari. Biar aku yang akan menjaganya, meski dari alam yang berbeda.

Maaf dan terimakasih atas semuanya.

Sekar.

Aku melipat surat dari kakakku. Bayangan kakakku yang cantik dan ceria saat aku masih kecil dulu takkan kulupakan. Aku akan terus mengingatnya dalam keadaan yang seperti itu. Seperti Cinta yang menanti purnama.

Aku memutuskan untuk membongkar lemari mbak Sekar. Melipat seluruh bajunya untuk disumbangkan kepada yang membutuhkan. Toh orang rumah tidak ada yang cukup memakainya, sebab ukurannya terlalu kecil. Anggap saja ini juga sebagai sedekah jariyah mbak Sekar.

Dari dalam lemari, kulihat sebuah benda menyembul dari balik tumpukan baju. Sebuah buku harian milik mbak Sekar. Aku membaca isinya. Tulisan terakhirnya ada pada tiga minggu lalu, sepulang ia dari rumah dukun bersama ibu.

“Mik, abis gini bantu ibu cari tumpukan buku yasin.” Seru ibu tiba-tiba mengagetkanku. Sepertinya orang di rumah ini harus belajar mengetuk pintu. “Apa itu yang kamu pegang?”

Sial. Aku belum sempat membacanya, ibu sudah masuk lebih dulu. Mau tak mau aku menyerahkan buku harian mbak Sekar pada ibu. Padahal aku masih ingin mencari tau apa isi didalamnya.

Ibu terdiam membaca lembar demi lembar. Hingga ibu berhenti lada sebuah halaman dan terlihat kaget.

“Astaga! Jadi Ahmad orangnya yang menghamili Sekar! Dari segala manusia dimuka bumi ini, kenapa harus Ahmad!”

Ucapan ibu menimbulkan rasa penasaranku. Siapa Ahmad? Dan mengapa ibu terlihat sangat tidak terima dengan yang bernama Ahmad?

“Bu, Ahmad itu siapa? Ibu kenal?” tanyaku polos.

Ayahku masuk kedalam kamar mbak Sekar setelah membersihkan ruangan. Melihat raut wajah ibu yang penuh emosi, juga raut wajahku yang penasaran, akhirnya ayah kembali angkat bicara.

“Sudah waktunya memberitahu Mikha semuanya, bu. Empat hari lagi Mikha genap tujuh belas tahun. Maaf ya, le, kado ulang tahunmu kali ini mungkin adalah yang terpahit.”

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang