"Kamu pernah jatuh cinta?"
"Belum pernah."
"Kalau begitu, kalau belum mau serius, lebih baik kamu tak perlu memikirkannya."
"Aku memang belum pernah terpikirkan sebelumnya, tapi—ada apa, Jeno?"
"Lebih baik jaga hati dan dirimu, jatuh cinta itu tak akan berjalan sebagaimana kamu berharap."
"Oh ya?"
"Trust me, Euna."
Bahkan untuk melihat kepada siapa aku bisa menempatkan hatiku seorang, aku tak mampu. Ingin sekali rasanya dicintai dan mencintai, tetapi cinta pertamaku, atau papa, bahkan rela meninggalkanku tanpa alasan yang pasti.
Aku ingin tahu, apa impian itu berlaku untuk orang sepertiku? Apakah bisa disabilitas sepertiku berandai-andai hingga semesta dapat mengizinkanku untuk merasakannya?
"Na."
Suara itu, kembali menyebut namaku.
"Hari ini kita ke rumah sakit ya?"
"Kamu tidak kerja?"
"Siang nanti aku kuliah, kamu tunggu aku di rumah sakit bersama dokternya. Aku akan ke kampus."
"Eum—"
Lee Jeno meraih tanganku. "Tak usah cemas ya? Aku yakin akan ada hal baik yang sedang menunggmu."
"Tapi jangan berharap lebih padaku, karena aku tak begitu merasakannya."
"Jangan pesimis, jangan menjadi orang yang menolak peluang yang datang walau itu terdengar mustahil."
"Tapi—"
"Tak ada tapi-tapi."
"Hm, baiklah."
Aku menurut, karena sebagai manusia tanpa kekurangan sepertiku Jeno pasti lebih paham dengan apa yang sedang terjadi. Waktuku sekarang bak bergantung dan hanya memiliki kehadiran Jeno, selebihnya—aku tak mampu melakukannya karena lelaki itu yang tidak memperbolehkan.
Entah bagaimana caranya Tuhan menciptakan manusia seperti dia. Si orang baik yang sabar dengan kemunculan seorang gadis buta ini. Jeno seharusnya sekadar mengurus dirinya sendiri. Tetapi, dia memutuskan untuk memilih jalur lain, memintaku untuk tinggal bersamanya.
Hari-hariku sangat berarti, lebih bermakna sejak kami bertemu di stasiun kala itu. Aku menjadi lebih tenang, menjadi lebih memperhatikan sekitar dengan insting lebih dalam.
Aku pernah trauma, namun Jeno mampu menarikku untuk menikmati dunia bersamanya.
"Dokter, saya wali Euna. Tapi untuk kali ini, saya tidak bisa menemaninya sepanjang pemeriksaan." Imbuh Jeno, setelah giliranku tiba untuk berkonsultasi pada dokter kemarin.
Aku hanya bisa mendengar mereka membahas tentang sesuatu yang akan menggantikan mataku. Kelinci percobaan? Uh, terlalu kasar. Namun sisi baiknya ada harapan yang bisa kusematkan dari obrolan mereka.
Setidaknya, setidaknya Tuhan. Aku ingin kembali seperti dulu. Bolehkan aku berharap seperti yang Jeno katakan?
"Tolong dokter, saya ingin menitip dia."
"..."
"Euna ini gadis baik, gadis ceria. Tolong ya dokter, beri dia kesempatan."
Jangan seperti itu.
"Izinkan dia untuk bisa melihat hamparan langit lagi."
"Saya hanya perantara, selebihnya kita lebih baik berharap pada kehendak Tuhan."
Kueratkan genggamanku pada pergelangan tangan Lee Jeno. Aku ingin menyampaikan kata, agar dia tak begitu cemas atau mendesak dokter. Karena mau bagaimana pun juga, kita semua hanya manusia biasa yang sama di mata Tuhan.
![](https://img.wattpad.com/cover/265009647-288-k891572.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely.
Fanfiction[✓.] Buta yang kualami membuatku tak mampu lagi melihat indahnya hidup. Tak kusangka, kehadiran seorang Barista bernama Lee Jeno mampu menggambarkan eloknya dunia dalam kegelapan ini. © HATESTRAWBERRY