Aku mengerjapkan mata, memulai kehidupan di hari berikutnya. Awalnya aku hanya terdiam, menemukan samar-samar cahaya dalam pandanganku.
Sangat jarang aku bisa menemukan cahaya seperti ini. Berarti sudah pagi.
Tanpa sebab yang pasti, mimpi buruk itu kembali menghadang. Kejadian mengerikan malam kemarin, masih menghantuiku.
Tarik nafas, tahan, hela.
Masih sama, tanganku sedikit bergetar. Aku tak boleh untuk terus ketakutan, itu akan membuat Jeno terbebani.
"Sudah bangun?"
Kudengar suaranya dari atas lantai, mungkin dia masih berbaring. Aku berusaha bangkit dan membalas, "iya."
"Kamu baik-baik saja?"
Semoga. "Iya."
Jeno melenguh sebelum ikut bangkit, dan secara tak sengaja membuat kulit wajahnya menyentuh tanganku yang bertengger di tepi ranjang.
"Jeno."
"Hm."
"Kamu demam."
"..."
"Kamu sakit?"
"Tidak, kok."
Aku meraih wajahnya di udara, dan menemukan fakta bila Jeno memang sedang demam. Aku bergegas bangkit dan membereskan ranjang sebisa mungkin, menyingkirkan selimutku dari sana dan menarik lengan Jeno.
"Kenapa, Euna?"
"Kamu tidur di sini."
"Tidak mungkin."
"Kamu sakit, kamu perlu istirahat yang baik."
"Iya aku akan istirahat, aku tak akan keluar rumah dulu hari ini."
"Naik ke ranjang."
Aku terus mendesak pria Lee ini untuk tidur di ranjang alih-alih di atas lantai dengan kasur itu. Tak mungkin aku membiarkannya yang sakit harus semakin sakit.
"Kamu tidur, nanti aku buatkan makanan."
Jeno meraih tanganku. "Kamu mau apa?"
"Tunggu saja."
"Eun—"
"Aku bisa."
"Bisa apa?"
"Kamu tunggu saja, Lee Jeno."
Jeno menyerah, akhirnya seolah berat hati melepas tanganku dan memintaku memanggilnya jika aku butuh. Aku tahu dia sedang sakit kepala dampak dari cuaca semalam, jadi aku ingin Jeno berdiam di atas ranjang saja, sementara aku berjalan ke dapur.
Aku sudah hapal semua hal yang ada di dalam dapur ini. Kebetulan dapurnya kecil, jadi mungkin aku tak akan kesulitan bila seperti itu. Aku sudah terlatih sejak awal tidak bisa melihat, so—aku akan berusaha untuk merawat Jeno kali ini.
Menjaga agar beras Jeno tak berantakan, mengukur air dan bumbu lainnya, terkena panasnya wadah besi di atas pemanas, bahkan tak sengaja mengiris jariku sendiri. Karena beberapa waktu terakhir aku tak memasak lagi, jadi aku lumayan ceroboh.
Huh, tak sesuai ekspektasi.
Setelah semuanya siap di atas nampan, aku bergegas menghampiri Jeno di kamar.
"Jeno."
"Iyaaa."
"Ini."
"Kamu buat apa, Euna?"
"Hm—" aku mengambil jeda sejenak, semakin tidak yakin. "Aku tak yakin dengan rasanya. Kalau tidak enak, kamu berhenti saja ya makannya."
Jeno mendengkus, lalu kekehan. "Tidak boleh, pasti ini enak kok." Dia pun meraih nampan dan tanganku untuk duduk di sampingnya. "Loh tangan kamu—"
"Ini biasa, kamu makan saja."
"Ini pasti sakit, luka dan kemerahan, Na."
"Tak apa, percaya aku. Lebih baik kamu makan saja dulu."
Jeno menghela nafas berat, menggenggam tanganku yang terluka seraya memasukkan suapan ke dalam mulutnya.
Aku menunggu Jeno dengan perasaan yang tidak menentu, cemas jika saja aku hanya membuang-buang bahan makanan.
Tapi respon Jeno berhasil menenangkanku dalam sekejap.
"Kamu pandai memasak, ya? Ini enah, ternyata kamu serba bisa. Aku suka sekali, semuanya ada di dalam diri kamu."
Semuanya katanya, semuanya. "Jangan berlebihan."
"Aku serius, aku iri padamu."
Ada orang normal yang iri—padaku?
"Aku bahagia bisa mengenal dan bersama orang sepertimu, Euna."
Bodohnya jantungku berdegup kencang, bukan karena risih akan semua kebanggaannya. Aku tak tahu, jujur rasanya ini sedikit aneh. Bahkan saat aku masih berada di dalam sentuhan kulitnya, seluruh darahku berdesir tak menentu tanpa henti.
"Ini, saat kamu masih di dapur tadi, ada kiriman surat dari Dokter Kim."
Pernyataan itu membawaku untuk sadar sepenuhnya.
"Kamu sudah bisa dioperasi minggu depan, Euna."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely.
Fanfiction[✓.] Buta yang kualami membuatku tak mampu lagi melihat indahnya hidup. Tak kusangka, kehadiran seorang Barista bernama Lee Jeno mampu menggambarkan eloknya dunia dalam kegelapan ini. © HATESTRAWBERRY