[16] that's a fate

1K 338 44
                                    

Sejak siang tadi, langkahku terasa begitu berat sekadar untuk berpijak. Dan seperti biasa, ini aku pulang sendirian, menjadi rutinitasku sejak sebulan terakhir. Tas yang menggantung di bahuku layaknya teman tak bergerak, menyaksikan bagaimana diri ini sudah tidak baik-baik saja.

Rel kereta api yang terbengkalai dulunya selalu kulalui bersama lelaki itu. Sosok yang tempo hari seolah menggentayangiku di tempat kerja, atau di mana saja. Saat aku akhirnya tahu akan sebuah fakta terlampau mengejutkan, aku perlahan ingin mengatakan sesuatu.

Lebih baik tahu diri daripada berusaha melawan takdir.

Pada kenyataannya Lee Jeno memang bukan orang biasa. Berbeda denganku, si gadis yang tidak mempunyai apa-apa selain dirinya sendiri. Aku tidaklah pantas mengharapkan dia, bahkan tidak berhak menantinya yang sudah menemukan kelayakan hidup.

Euna, kamu tidak berhak merindu pada manusia nyaris sempurna sepertinya.

Cukup untuk menginjak hatiku, tetapi aku masih saja mengapung dalam kekecewaan. Meski tak pernah kulihat dirinya yang selalu bercerita di rel ini, namun suaranya yang indah masih saja terputar bak vinyl elok yang sedang kusetel.

Wajahnya yang dulu seperti dapat kutemukan dalam benakku. Genggaman tangan dan kehangatan senyumnya semakin menggebu dalam pilu. Tuhan, aku masih terjebak di dalam sana.

Teringat batinku saat di mana kami selalu saja membuat candaan renyah di dalam kereta yang sedang melaju, menjadi kawan untuk menemaninya bekerja hingga kembali ke rumah. Dia yang dulu akan selalu ada, dia yang sejak pertama kali kami bertemu hingga penglihatanku mulai kembali.

Yang membuatku sangat menyesal hingga saat ini adalah, bukan dia yang kulihat sebagai orang pertama seperti janji itu terikat.

Janji sederhana yang menjadi angan belaka, yang membuatku sesak dalam kelabu itu.

Kutundukkan pandangan pada tanah begitu tubuhku telah tiba di samping traffic light penyeberangan. Kunikmati sapuan angin yang masih terasa sama. 

Masih terasa sama, entah itu karena merindukan kenangan, atau manusianya.

Tiba-tiba bunyi peringatan untuk bergegas menyeberang itu muncul, aku reflek hendak melangkah ke seberang sana. Hanya aku dan sedikit orang, namun kecerobohanku secara tak sengaja menyambar orang lain di penghujung zebra cross.

"Maaf."

Orang itu ikut menunduk dan segera melanjutkan langkah menuju tempat tujuannya.

Saat aku ingin melakukan hal yang sama, secara tak sengaja manik mataku menemukan seseorang yang tengah mengamatiku dari tempat sebelumnya. Aku terdiam, melihat dirinya yang juga membisu di sana.

Tatapan kami benar-benar bertemu, tanpa adanya niat untuk saling memikul.

Lee Jeno, terus menatapku lamat, entah apakah dia sungguh nyata, atau sebatas khayalan belaka. Di saat orang lain tak sengaja menyambarnya hingga tubuhnya sedikit bergeser, aku dibuat sadar bahwa dia sungguh ada di seberang sana.

Sejujurnya aku ingin meraih tubuhnya, berteriak sekencang mungkin atas dirinya yang membuatku menderita akibat kehilangan dan sesak ini. Aku ingin dia tahu, betapa besarnya rasa rinduku yang bahkan tak pernah berkurang sedikit pun.

Namun, aku lebih memilih untuk mundur, menjauh dari sana dan bergegas pulang dengan isakan yang tidak terelakkan. Tidak, dia tak boleh lagi melihatku. Gadis yang pernah menyulitkan keadaannya.

Sebodoh-bodohnya aku sulit melupa, lebih bodoh lagi jika aku berupaya menggapainya.

Aku paham bagaimana orang-orang menatapku risih karena menangis di sepanjang perjalanan. Perlahan langkahku menjadi pelarian, menutup mulut yang terisak, hingga akhirnya aku mampu meraih gagang pintu rumah kami

Kembali kututup pintu dan menguncinya, merosot turun ke bawah karena aku tak lagi mampu menopang tubuhku sendiri.

Sampai kapan aku seperti ini—? Pun aku tak bisa memperkirakannya. 

Ketika teringat akan kondisiku yang masih buta, aku bahkan nyaris tak pernah menangis dalam duka dan lara. Namun sejak penglihatanku kembali, hampir setiap hari aku menitikkan air mata, karenanya.

Ternyata walau itu sangat-amat-menyedihkan, aku harus menerimanya. Sebab itu merupakan kenyataanyang tak dapat kuhindari. 

Ya, mungkin kamu adalah duniaku, namun bukan takdirku.

Sincerely.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang