Hari di mana aku tak pernah menduga akan kehadirannya pun tiba. Sudah sejak dua hari aku menetap di salah satu ruang rumah sakit, bersiap sebelum ditindak di atas meja operasi, dan tak terasa—harinya benar-benar telah tiba.
Kurasakan ranjang yang menopang tubuhku diarahkan menuju sebuah ruangan, bersama Lee Jeno yang mungkin sedang mengiringi serta berupaya menguatkanku dengan menggenggam kedua tangan ini.
"Kamu yang sabar saja ya, soalnya yang tidak sabar itu aku."
Aku tertawa. "Kamu—!"
"Kamu jangan kaget ya kalau nanti sudah bisa lihat aku."
Begitu senang dan bangganya diriku, menemukan seseorang yang terus menemaniku dari titik terendah, hingga akhirnya aku akan kembali ke tempat semula, sebentar lagi.
"Nanti temanku Haechan juga datang, kalau misalnya aku belum datang setelah perbannya dilepas, kamu tunggu saja ya untuk lihat aku."
"Kamu mau ke mana?"
"Kerja, kuliah juga, bukan?"
Aku tersenyum dengan lega. "Hati-hati ya. Selama aku dioperasi, dan kalau kamu lelah, kamu pulang saja."
"Big no, aku mau menunggumu."
Aku ingin sok kuat di depannya, tapi genggamanku reflek semakin erat. Ada rasa sedikit takut, cemas, entah mengapa aku enggan melepas Jeno.
"Kita sudah sampai."
Perlahan dorongan ranjang ini melambat.
"Kamu yang kuat ya?"
"Jeno."
"Ya."
"Kamu akan selalu ada, bukan?"
"Ya aku akan selalu ada, jangan cemas seperti ini."
"Jangan ke mana-mana, ya."
Jeno terkekeh. "Katanya tadi aku boleh pulang kalau aku lelah?"
"..."
"Iya, tidak akan, aku selalu di sini. Bukannya ada Dokter Lee juga yang menemanimu? Berarti kamu harus lebih sabar, oke?"
Aku mengangguk, perlahan melepaskan tangannya.
"Beri tahu aku apapun yang kamu rasakan, ya?"
"Jeno—"
"Hei, semuanya akan baik-baik saja, Na."
"Pasien akan kami bawa ke dalam ruang operasi. Mohon ditunggu di sini, tuan."
Setelah salah satu petugas medis meminta Jeno untuk berhenti, dengan lambat tanganku sungguh melepaskan genggamannya sebelum memulai duniaku yang baru. Aku tak tahu mengapa dadaku begitu sesak, aku tak tahu mengapa aku begitu tak rela berpisah dengannya meski untuk sementara waktu.
Keheningan lantas menyambutku di ruang operasi. Dokter Lee melakukan beberapa hal yang cukup baik untuk menenangkanku, sebelum obat bius itu perlahan masuk dan menyebar pada beberapa bagian tubuhku.
Perlahan semuanya terasa kosong, sangat kosong. Kurasa tubuhku bak menyeberang ke alam mimpi, seolah terus berjalan hingga menemukan seberkas cahaya.
Hanya aku sendirian, tak ada siapa-siapa.
Ini benar-benar kosong.
Anehnya aku terdorong untuk menitikkan air mata tanpa sebab yang jelas. Perasaanku terlalu campur aduk, hingga membuatku kebingungan.
"Euna."
"..."
"Euna, ini aku."
Aku menoleh, menemukan seorang pria di seberang sana.
"Ini aku."
Suaranya seperti Jeno, namun wajahnya tak begitu jelas. Begitu samar-samar.
"Sebentar lagi kita akan bertemu loh, sebentar lagi kamu akan melihatku."
"Lee Jeno."
"Tolong terima aku apa adanya ya?"
"..."
"Tolong—bila kamu menemukan faktanya, tolong—tetap bersamaku."
"Kamu—ada apa denganmu?"
"Aku akan berusaha sebaik mungkin, Na."
"You don't need to work hard all of the time. Jeno, everyone needs time to rest."
Dia tersenyum.
"Kamu itu orang baik, kamu jangan memaksa diri sendiri, ya."
"Terimakasih, Euna."
Kuukir lengkungan tipis di wajahku sebaik mungkin, membalas senyumannya yang begitu berarti bagiku.
"Tolong, ingat aku. Selalu ingat aku, aku—Lee Jeno."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.