[20] begin again

1K 333 95
                                    

"..."

"..."

"..."

"Hm."

"..."

Sunyi, hening, dan tak ada sahutan apapun. Begini seterusnya, hingga sejam berlalu sejak aku mengajaknya untuk mampir sebentar ke dalam rumah kami. Entah apa yang sebenarnya aku pikirkan sampai bisa memberinya izin untuk sekadar singgah sejenak, selepas perkara tadi.

Aku masih bingung dan dilema dalam waktu yang bersamaan. Aku gelisah bukan karena dia sebagai Lee Jeno, namun aku gelisah karena dia hadir sebagai pria terpandang di kota ini.

"Kenapa barangnya disusun seperti itu?"

Akhirnya, dia yang mengawali topik pembicaraan kami.

"Kamu mau apa?"

Kulihat tumpukan kotak-kotak yang telah kususun rapi. "Pindah."

Alisnya terangkat secara bersamaan.

"Kamu mau ke mana?"

Aku menunduk. "Kamu tidak perlu tahu." Balasku seraya memilin sehelai benang tersesat dari kain ranjang.

"Jadi bagaimana aku bisa melihat kamu kalau aku tak bisa tahu kamu mau ke mana?"

"Memangnya kenapa kamu mau lihat aku?"

"..."

"..."

"Kamu masih benci ya padaku?"

Aku menggeleng.

"Kamu sudah tak suka padaku?"

"..."

"Aku tak mau meminta maaf."

"..."

"Karena aku yakin, itu tak akan cukup untuk semua yang sudah terjadi."

Kutatap sorot matanya yang membulat. Hanya menatap kosong, tak ada harapan atau rencana apa-apa. Sepersekian detik berlalu aku mengalihkan pandangan dan membalasnya, "kamu pulang saja."

"Ini, aku sudah pulang."

"Jangan sampai ada orang lain yang tahu kamu dan—"

"Kan aku bilang, aku sudah pulang."

"..."

"Ini rumah kita."

"Aku rasa kamu lelah, lebih baik kamu keluar dan kembali ke rumah kamu. Aku sudah lihat semuanya di berita, kamu harus fokus pada duniamu." Juga, kamu tak akan bisa meraih impianmu kelak jika kamu tak bergegas mencari pendamping hidup.

Jeno terdiam.

"Seperti yang bisa kamu lihat, sekarang aku baik-baik saja."

"Tapi aku tidak."

"..."

"Aku masih punya tanggung jawab yang lain, dan itu adalah kamu."

Sejak kapan ...

"Aku sudah janji, aku pernah bilang kalau aku akan selalu ada untukmu. Walau aku harus pergi sebentar, tolong—"

"Sebenarnya kamu mau apa?"

Jeno menunduk. "Maafkan aku."

"..."

"Euna."

"Kamu tak punya salah, bahkan sekalipun itu ada, itu pasti karena kesalahanku sendiri."

"Berarti aku harus mulai dari awal lagi, ya?"

Aku mengernyitkan dahi.

"Untuk membuatmu percaya padaku."

Ya kamu pikir saja, setelah semua yang telah terjadi.

"Apa boleh menyentuh tanganmu? Sekali saja, untuk hari ini."

"..."

"Aku tak akan berlebihan."

Aku melihat kedua tanganku dan segala jemarinya. Seistimewa itukah kalian sampai Jeno harus meminta izin agar dia bisa menyentuh? Aku dibuat tak mampu mengontrol semuanya.

Jeno mengulurkan tangannya, kembali. "Please."

Dengan wajah datar, kuulurkan kedua tangan dan merasakan segala duniaku yang kembali. Kini semuanya terasa lebih jelas, bahkan membuatku menjadi lebih tenang.

Malamku yang selalu suram mulai terang akan hadirnya cahaya yang kurindukan.

"Terimakasih." Kata Jeno. "Kamu sudah memberi izin padaku untuk mengisi daya lagi, setelah sekian lama."

Bodohnya aku ingin tersenyum, tapi berusaha kutahan.

"Kamu sudah lihat berita?"

"Selalu."

"Tentang aku harus menikah."

"Ya."

Jeno mengangguk. "Oke."

Lalu?

Dia diam lagi, dan melamun. Tanganku semakin hangat dan aku takut keringatnya akan terasa di kulit Jeno.

Beberapa detik berlalu, tiba-tiba Jeno berlutut dan meraih sesuatu di saku kemejanya, masih dengan menggenggam satu tanganku. Kotak merah kecil muncul, menyebabkan diriku merasakan sesuatu yang berguncang.

Saat dibuka, aku sangat terkejut menemukan sebuah cincin emas putih yang indah bertengger manis di dalamnya.

"Iya, aku harus segera menikah."

No way.

"Sama kamu."

Sincerely.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang