Chapter 46. Berdamai untuk Memulai

8.5K 1.3K 74
                                    

Instagram : unianhar

-------------------------

"Kamu beneran nggak apa-apa sendirian?" tanya Ozil mencengkram pergelangan tangan Zoya. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran pada sang adik yang hendak menjenguk orang sakit.

Dengan decakan dongkol, Zoya menarik tangannya. Ia tahu Ozil khawatir tapi tidak perlu berlebihan. Lagian apa yang perlu dikhawatirkan? Semuanya baik-baik saja. Zoya juga bisa jaga diri.

"Bang, jangan sampai Zoya lompat dari gedung ini karen kesal sama Abang. Ingat, kalau Zoy innalillahi orang pertama yang Zoy temui itu Abang," dumelnya tak tahan.

Ozil menganga tak tahu harus membalas apa, Zoya segera beranjak meninggalkan abangnya sebelum dia tersadar. Sengaja ia meminta Ozil untuk tetap di sana dan tidak mengganggunya. Kakinya dibalut sepatu putih melangkah ke arah rooftop, kepalanya toleh kanan-kiri membuat rambutnya yang diikat terkibas mengikuti gerakannya, sesekali memandang orang-orang yang melewatinya seakan penasaran. Mereka sakit apa?

"Ah, dia di mana, sih?" gumamnya menyapu pandangannya ke seluruh rooftop. Zoya tersentak kala matanya terpaku pada sosok yang ia cari, buru-buru ia berjalan menghampiri. Orang itu tengah berdiri di tepi balkon sambil memegang pembatas besinya.

Bukan untuk bunuh diri, tampaknya gadis itu menikmati langit senja yang memesona disore itu. Sesaat langkah Zoya tercekat, ragu untuk mendekat, tetapi tanggung dikala dirinya tepat di belakang gadis itu.

Zoya membiarkan dirinya tetap di sana dengan jarak yang kurang dari dua meter, memandangi punggungnya dengan sorot kasihan dan merasa bersalah, padahal Zoya hampir tidak pernah memperlihat ekspresi seperti itu, tapi tanpa sadar dirinya melakukan itu.

Terhitung empat hari tak mengunjunginya, selama itu Zoya sedang memberikan waktu pada dirinya agar bisa bernapas dari masalah percintaannya yang pelik.

Kesalahpahaman berawal dari keserakahannya. Orion seperti planet untuknya yang menjadikan dirinya sebagai poros, tidak bisa membendung ketidak sukaannya kala sesuatu yang asing mengincar hubungan mereka. Dengan alami rasa benci Zoya perlahan tumbuh.

Rasa benci jika dibiarkan maka akan semakin besar, hingga tanpa sadar dirinya menjadi monster yang menakutkan. Dirinya yang cemburu menganggap kebetulan-kebetulan yang ada sengaja diciptakan untuk mengancam keberadaannya. Kebetulan-kebetulan itulah membuatnya lupa diri.

Kalau Zoya ingat-ingat ia pernah berbuat kasar padanya dan membuat dia ketakutan. Ia salah. Zoya mengakuinya. Tapi jangan lupa dia juga salah, kalau bukan karena dia terus berada di sekeliling Orion, Zoya tidak mungkin melakukannya.

Rambut Zoya lagi-lagi terkibas, gaun selututnya mengikuti arah angin, tali tasnya yang melintang di bahu kanannya dipegang erat sambil mengumpulkan tekad menghampiri gadis itu.

Dengan congkak Zoya berdiri tepat di sampingnya, ikut memandang jauh ke depan. Gadis itu pun menyadari kehadiran Zoya, lantas menoleh melihatnya. Ada keterkejutan di sorot mata sayu itu walau berhasil dikendalikan dalam hitungan detik. Dia memalingkan wajah hendak mengabaikan hadiran Zoya.

"Gue dengar lo bakal pindah sekolah," kata Zoya memulai percakapan diantara mereka.

"Iya," jawabnya menghela napas tenang.

"Ini bukan jalan satu-satunya."

"Gue tahu," katanya lirih, walau wajahnya tetap datar. Zoya meliriknya dengan pandangan bingung, kalau tahu kenapa memilih kabur dari masalah.

"Daripada ngelawan kebencian yang udah ngelilit gue....gue lebih milih mulai dari awal." Setelah apa yang dilakukannya, mana mungkin dirinya punya kepercayaan diri menghadapi orang-orang itu. Kebencian dan terasingkan yang diterimanya membuat dia merasa tidak pantas.

ZORION (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang