S2 | Bab 15

423 86 23
                                    

-4 tahun kemudian-

[Aleph]

Tinggal di Rusia dengan segala keistimewaan yang gue dapat sebagai anggota keluarga Bolshoy adalah hal yang patut gue syukuri. Apa sih yang nggak bisa gue dapat dari semua privilege ini? Jauh dari kehidupan gue di sini pun, sebenarnya hidup gue udah nyaman. Selama gue tinggal jauh di New York dengan kembaran gue untuk kuliah, gue bisa menjalani kehidupan mandiri tanpa beban, tanpa embel-embel nama keluarga Bolshoy.

Waktu terus berlalu, dan gue sadar kalau orang tua gue semakin menua dari segi umur. Tentu saja, itu bukan hal yang bisa dihindari, tapi jika melihat bagaimana keadaan fisik mereka maka siapapun nggak akan ada yang mengira kalau mereka sudah hampir berkepala lima. Terlepas dari kondisi mereka, sebagai anak maka tanggung jawab untuk berbakti dan membalas budi sudah seharusnya dilakukan. Maka, sekarang gue dan kembaran tercinta pulang ke Rusia untuk mengambil tanggung jawab itu.

"Iya, nanti Ka! Astaga, jadi anak kenapa nggak sabaran banget?!"

"Pamerannya bulan ini, kalau nggak dapet tiket karena musim liburan ya pokoknya pergi pakai Jet pribadi nggak mau tau!"

"Iya itu urusan gampang, sekarang Umi harus ketemu orang dulu. Nggak sampai satu jam udah balik, cuma mau liat sampel baja."

"Sampel baja lebih penting dari debut pameran foto aku? Ini untuk tugas akhir kelulusan aku, Umi. Bisa nggak sih duduk sebentar untuk ngobrol?"

"Bisa, tapi nanti. Oke?!"

Gue hanya bisa mendesah pasrah melihat Zedka yang sedih ditinggal pergi Umi. Mungkin dari sudut pandangnya, Umi nggak peduli sama debut pertamanya sebagai fotografer sebagai syarat kelulusan, tapi kalau dilihat dari sudut pandang Umi yang sekarang menjabat sebagai orang yang berpengaruh di Bolshoy, maka bertemu rekan bisnis nggak bisa dihindari.

"Ka, sini ngopi!"

Gue mengacungkan segelas es kopi dingin yang dibuat khusus oleh barista pribadi di keluarga Bolshoy. Gue masih baik, menawarkan kopi dengan senyuman yang orang-orang bilang selalu berhasil membuat siapapun yang melihat terpesona. Ya, sudah bukan rahasia lagi kan kalau gue tampan, mapan dan rupawan?

"Dih, ngapain lo senyum kaya gitu?"

Tapi itu nggak berlaku bagi Kakak gue yang nyebelinnya nggak pernah tobat. Akhlaknya nggak pernah di upgrade, meski perjalan hidup terus berjalan. Biasanya setiap orang selalu memiliki kemajuan setelah bisa melewati satu demi satu tahapan dalam kehidupan, berbeda dengan Zedka yang sama sekali nggak pernah berubah.

"Leph, sebenernya gue ngapain balik ke sini sih? Ini udah dua hari dan mereka nggak ada waktu buat bicara sama kita." ujar Zedka sambil menyambar es kopi gue dan menghabiskan setengahnya. Dasar Bebek!

"Tuan Ares sama Nyonya Aphrodite lagi sibuk banget, mereka lagi ada marger sama perusahaan tambang dari Timur Tengah, jadi tunggu aja sampai mereka selesai dengan urusannya." Gue ngambil es kopi dari tangannya, dan ngabisin sisanya.

Zedka berdecak sambil menggelengkan kepalanya. Dia keliatan serius padahal dia sama sekali nggak ngerti soal urusan bisnis dan perusahaan, meski dia pinter banget kalau udah urusan uang.

"Untung dari Abi turun tahtanya ke lo, gue nggak bisa bayangin kalau gue yang mengemban tugas itu. Harus paham alur bisnis, grafik saham, nilai jual pasar, belum urusan hukumnya, itung-itungannya, dan penguasaan bahasa asing untuk melancarkan bisnis. Duh mual gue!"

Zedka hampir muntah, dan gue langsung tutup mukanya pakai map yang ada di hadapannya. Joroknya Zedka nggak pernah hilang!

"Bego! Ini porofolio pameran foto gue!" bentak dia, sambil nepis tangan gue.

Oh, Come On Twins!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang