S2 | Bab 26

634 81 24
                                    

[Zedka]

Sampai detik ini gue masih nggak paham sama apa yang ada di pikiran Aleph. Gini loh, dia sendiri yang marah-marah waktu Terra pergi clubbing sama temen cowoknya dan minta putus, tapi waktu Terra putusin dia dengan berbesar hati, eh malah dia yang uring-uringan. Antara tolol, bego sama sinting diborong semua. Sekarang, apa yang dia dapat? Selain tonjokkan dari Helix, dia juga dapat tamparan dari Terra.

"Ka, gue harus kaya gimana sekarang?"

Dan dia masih aja nanya harus gimana ke gue?

"Pertama, kita obatin dulu luka di wajah lo. Terus lo tidur, dan kita bicara lagi besok."

"Nggak bisa! Gue mau Terra!"

Gue ambil bantal dan pukul kepalanya supaya dia sadar!

"Heh! Yang selama ini nyusahin Terra itu lo, dan yang maksa minta putus itu juga lo! Terus sekarang lo mau Terra balik? Otak lo di mana Aleph?!"

"Karena gue nggak nyangka kalau Terra akan secepat itu nyerah, dan gue nggak terima kalau kita berakhir temenan. Lo tau sendiri gue secinta itu sama Terra, tapi gue nggak suka kalau Terra banyak tingkah sama cowok lain. Lo tau sendiri gue ini cemburuan, dan gue....."

Gue pukul lagi kepalanya. Adik gue udah kelewat sinting!

"Terra itu manusia, bukan boneka yang bisa lo atur ini dan itu. Harusnya lo sadar kalau selama kalian pacaran, si Terra udah banyak sabarnya ngadepin lo yang banyak tingkah!"

Gue beranjak turun dari tempat tidur, berjalan pergi ninggalin Aleph sendiri di kamarnya.

Ini nggak bisa terus dibiarin. Adik gue harus bisa mikir, dan nggak boleh terus egois. Lagi-lagi, gue harus terjebak sama urusan percintaan Aleph yang nggak pernah ada habisnya. Kembar sih kembar, tapi gue juga mau punya kehidupan sendiri.

Jadi kapan kisah cinta gue mulai bersemi kembali?

Gue melirik ke arah jam tangan, dan waktu udah nunjukkin jam 1 pagi. Kalau gue balik ke kamar, udah pasti gue nggak akan bisa tidur karena kepikiran. Enaknya cari angin, sampai gue ngerasa ngantuk.

Gue jalan di sekitaran jalan di dekat hotel, suasananya nggak rame dan nggak sepi juga. Ada beberapa orang yang lagi makan di warung-warung tenda pinggir jalan, ada juga yang cuma jalan kaya gue sekarang. Satu yang gue sesalkan, gue nggak bawa kamera padahal spot malam di sini lumayan bagus.

Gue duduk di pinggir jalan, dan menatap kendaraan yang berlalu lalang sambil ngisep rokok gue yang tinggal sisa satu-satunya. Pikiran gue pun bergerliya sambil berandai-andai.

Andai gue bukan orang Rusia-Indonesia dan kebetulan bukan keturunan Bolshoy, hidup gue apa kabar ya? Andai gue bukan terlahir kembar, dan ternyata punya banyak saudara gimana ya rasanya? Hembusan asap rokok gue mengepul bersama kegelisahan yang gue rasakan.

"Tapi gimana kalau gue hidup sebatang kara, miskin pula? Apa gue masih bisa bertahan hidup?"

Sebuah gerobak butut melintas melewati gue. Pak Tua yang mendorong gerobak itu sesekali tertawa bersama perempuan di sebelahnya, lalu gue sekilas melihat ada anak kecil yang tertidur di dalam gerobak.

Hati gue rasanya teriris sakit.

"Gue harusnya banyak bersyukur."

Karena lahir dari keluarga Bolshoy, meski selalu menggerutu kesal karena orang tua gue kadang super nyebelin, dan punya kembaran yang nyusahin. Ini masih perkara mudah yang bisa gue lewati, semua pengandaian gue tadi jika terjadi, belum tentu bisa gue jalani.

"Hey, you here alone?"

Ada Mas-mas yang nyamperin gue, jadi gue langsung berdiri soalnya takut dikira gembel. Gue cuma senyum, dan berniat pergi dari sana. Tapi, Mas nya ini nggak sopan, karena tarik tangan gue seenak jidatnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 05, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Oh, Come On Twins!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang