S2 | Bab 17

428 81 23
                                    

[Aleph]

Pergi mengantar Umi dengan tujuan ke toko bunga sepertinya bukanlah keputusan yang benar. Pasalnya, meski tujuan awalnya toko bunga tetapi di tengah jalan Umi selalu menyempatkan keluar masuk toko apapun yang menurutnya menarik. Seperti sekarang, Umi lagi di toko keramik terpukau dengan keindahan coraknya.

"Leph, menurut kamu ini bagus nggak?"

"Bagus." jawab gue pasrah.

"Kita beli banyak aja, atau satu di sini dan terus nyari barang lain di tempat lain?"

"Umi, mulai pameran fotonya tinggal dua jam lagi. Kalau Umi ngabisin waktu buat beli barang terus beli bunga buat Zedka nya kapan?"

"Hah? Masa sih dua jam lagi?!"

Beginilah yang terjadi jika Ibumu tukang hobi belanja yang nggak tahu waktu. Jelas-jelas rencana awal keluar dari apartemen itu mampir dulu beli bunga, ini malah nyasar di tempat keramik. Apa Umi belum paham juga kalau anak ceweknya itu sekalinya sakit hati bisa dendam kesumat?

"Aleph! Buruan jalan, kenapa masih bengong di sana? Kamu mau si Zedka ngamuk kalau kita telat?"

Gue cuma bisa mendesah. Kalau gue jawab karena Umi yang bikin kita telat, maka ujung-ujungnya gue yang kena ceramah. Serba salah memang punya Ibu seperti Nyonya Aphrodite ini.

Setibanya di galeri foto, beberapa wartawan langsung datang mengerubungi kita. Yah, siapa yang nggak tertarik dengan kehidupan keluarga Bolshoy? Bahkan kehidupan pribadi kita yang dulu, yang begitu tersimpan rapat privasinya, sekarang malah menjadi sorotan media. Apapun yang kita lakukan selalu menjadi pembahasan, entah dari segi bisnis perusahaan hingga tebak-tebakan tipe ideal yang menjadi pasangan kita, gue dan Zedka.

Akhirnya kita berhasil masuk ke dalam galeri, tentu saja langsung ditatap sinis oleh si Zedka, mungkin dia kesal gara-gara banyaknya wartawan. Ini di luar prediksinya.

"Kenapa ada wartawan di luar?!" Zedka dengan berani membentak Umi, yang sebenarnya juga nggak tahu apa-apa.

"Coba tanya sama Abi kamu!"

Sayangnya saat ini, Abi belum tiba di galeri karena harus mengurus pekerjaan di tempat koleganya.

"Umi hubungin Abi dulu, kamu jangan marah-marah kaya gini. Nggak enak sama yang lain."

Umi mencoba nenangin Zedak. Dia kasih bunga mawar yang dipilih secara acak di toko bunga, dan alhasil membuat Zedka meringis saat menerimanya. Ya gimana nggak risih, jelas-jelas Zedka nggak suka bunga mawar.

Waktu Umi nyoba ngontak Abi, dia melengos pergi. Gue pun berakhir saling tatapan sama Zedka, lalu kemudian tanpa diduga si gorila besar ini malah nimpuk gue pakai buket bunga mawarnya.

"Yak!"

"Lo nggak bilang ke Umi kalau gue nggak suka sama bunga mawar?!"

"Terus kalau gue bilang lo nggak suka mawar dan Umi tanya alesannya, gue harus bilang juga kalau lo trauma karena pernah hias kamar si Lucas pakai taburan mawar yang ujung-ujungnya malah dipakai dia buat selingkuhannya?"

Dan sedetik kemudian gue lupa gimana caranya bernapas! Tangan si Zedka berhasil nyekik leher gue, dan meskipun gue berontak itu tidak menciutkan kekejamannya sebagai psikopat.

"Zedka!"

Suara Umi menggelegar seisi galeri. Perlahan tangan Zedka mulai longgar, dan pelan-pelan dia melangkah mundur meski matanya masih melotot menyeramkan. Gue berusaha bernapas dengan normal, dan hampir terjatuh kalau saja Abi nggak tahan bahu gue dari belakang.

"Harusnya nggak kaya gini kan?" tanya Umi sinis.

Si Zedka malah mencebik, dan melengos pergi. Umi kemudian mengikutinya, tanpa memperdulikan gue yang hampir mati kehabisan napas.

Oh, Come On Twins!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang