46. Dia, yang selalu ada.

117 20 45
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Dara masih diam termenung seraya duduk di bangkunya. Padahal bell istirahat sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Dalam diamnya ia masih bergelut keras dengan pikirannya. Mulutnya bahkan tak bergeming sedikitpun sejak pagi tadi ia datang ke kelas.

Gwen yang bingung dengan sikap Dara, terdengar berkali-kali menghela nafasnya, bosan. Sudah lebih dari lima belas menit, ia coba mengajak sahabatnya itu untuk berbicara. Tapi tetap saja, Dara orang yang keras kepala. Tidak semudah itu membujuknya. 

Kelas mereka sudah sangat sepi, bahkan hanya ada mereka berdua di kelas itu. Karena semua murid di kelas sudah berbondong-bondong pergi ke kantin.

Dengan wajah cemberut, Gwen pun menyenggol pundak Dara, pelan.

"Ra... Kita kapan ke kantin? Gua udah laper, nih," rengek Gwen semakin mengerucutkan bibirnya.

Dara menggelengkan kepalanya lemah, "lo duluan aja deh, Gwen. Gua lagi nggak nafsu buat makan."

Gwen langsung mendengus, jengkel.

"Ihh, Ra! lo tuh udah dari kemarin belum makan, masa lo nggak laper sih, Nyet?" decak Gwen berkacak pinggang, menatap kesal sahabatnya itu.

"Kok lo bisa tau?" tanya Dara mengerutkan kedua alisnya, heran.

"Siapa lagi kalau bukan dari Tante Agna. Bunda lo tuh nelfon gua tadi malam," terang Gwen menatap Dara jenga. Ia ingat sekali, tadi malam saat ia ingin tidur, Bunda Dara menelfonnya. Tante Agna terdengar khawatir dan bertanya apa yang terjadi pada anaknya di sekolah tadi. Karena sejak pulang sekolah, Dara benar-benar tak keluar dari kamarnya, bahkan hanya sekedar untuk makan.

"Lo ada apa?" tanya Gwen to the point, menatap Dara yang masih terduduk.

Dara langsung terlihat kikuk, dan menyahut dengan cepat.

"Enggak kok. Enggak ada apa-apa."

Gwen terkekeh sebentar, merasa lucu dengan jawaban spontan sahabatnya itu. Lantas ia langsung membalasnya.

"Kalau enggak ada apa-apa, enggak mungkin Bunda lo nelfon gua malam-malam, Ra."

Dara hanya terdiam menatap Gwen, tak tahu harus membalas apalagi.

"Dengerin gua, Ra." Gwen sedikit membungkuk, mendekatkan wajahnya pada Dara, "sering kali, satu masalah yang terus kita sembunyiin. Lama kelamaan, itu bakal jadi masalah yang bercabang, dan semakin membesar. Sampai kita sendiri putus asa untuk mengatasinya."

"Jadi nyembunyiin bukan jalan keluarnya, Ra," timpal Gwen tersenyum, tangannya terangkat mengelus pelan punggung Dara.

Dara mengulas senyum tipis di wajahnya, lalu mulai menurunkan pandangannya, menatap ujung sepatuh putihnya.

"Menceritakan juga gak semudah itu, Gwen. Kadang masalah itu malah jadi senjata makan tuannya sendiri. Cerita belum tentu pasti ketemu jawabannya. Ada manusia yang jahat juga, bukannya di bantuin malahan kita di buat lebih terpuruk lagi," lirih Dara tersenyum miris.

SELDARA [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang