Chapter 9

4.6K 653 72
                                    

Malam hampir mencapai ujung ketika Chimon keluar dari kamar Mac yang sedari sore ditempatinya. Hampa, sesak dan resah bertumpuk menjadi satu menampar diri.

Peduli setan dengan dingin yang menusuk tulang, Chimon duduk di teras rumah tanpa jaket atau selimut yang bisa menghangatkan. Hanya diam, menatap kosong pada gelap di hadapan. Bahkan suara jangkrik malam yang bersahutan seolah sedang mengejeknya terang-terangan.

Bodoh, bodoh, bodoh. Terus berputar mengisi kepala Chimon tiap ingat buah hatinya.

Bayi kecil yang ia bawa kemana-mana selama sembilan bulan penuh, bayi kecil yang ia kagumi ketampanannya ketika pertama terlahir ke dunia, jua bayi kecil yang ia tinggalkan ketika sang bayi masih sangat membutuhkannya.

Chimon sadar ia egois. Namun tentang Ohm juga ia pikirkan kali ini. Chimon tak mau Ohm terjebak dalam perasaan palsunya pada Chimon seumur hidup. Bahagia mereka semu, rasa cinta merekapun tak nyata, bukan rasa sebagai pasangan.

Chimon kira menitipkan Mac beberapa tahun pada Ohm dan mengambilnya lagi ketika semua rencananya berjalan lancar, akan sesuai keinginan. Sayang, Tuhan lebih dulu mematah rencananya dengan mengambil Mac.

Mata Chimon makin menyendu mendapati mobil-mobilan plastik milik Mac yang teronggok di pojok halaman. Mainan yang salah satu roda belakangnya sudah lepas tersebut bahkan lebih mampu membahagiakan Mac ketimbang dirinya, selaku ibu kandung.

Helaan nafas putus asa terdengar gamang. Bukan berhenti di sini, masalah lain sudah menanti Chimon di depan sana. Bagaimana reaksi suaminya nanti? Kesaksian Oma Wira dan Nanon tak bisa membuatnya berkelit lagi kan?








....









Pagi buta Nanon sudah bangun dan membantu Oma serta bibi di dapur untuk membuat sarapan bagi para pekerja. Hari ini salah satu ladang padi Oma akan dipanen, sehingga penduduk yang ikut bekerja akan lebih banyak.

"Tay pengen kamu segera pulang, Non."

Diam. Tangan Nanon yang tadi sedang serius mengaduk urab sayur mendadak diam.

"Ayah telfon Oma kapan?" Tanyanya tanpa menatap sang Oma.

"Semalem, waktu kamu udah tidur."

Nanon mengangguk. "Nanon pikirin dulu, Oma."

Padahal dalam hati mengiyakan. Nanon pikir mungkin saat ini pulang adalah pilihan terbaik.

Ketika Nanon ke belakang sejenak untuk mencuci tangan, suara kaget Oma-nya menarik perhatian.

"Ohm !! Kok kamu dateng?"

Nanon mengintip lewat balik dinding. Ia-pun ikut kaget. Ohm datang hendak mengantar makanan ke ladang seperti biasanya. Celana dan kaos lusuh yang selalu ia kenakan saat ke ladangpun sudah dipakainya.

Maksud Nanon, apa Ohm tak ingin cari waktu sejenak karena sedang berkabung?

"Iya, Bu. Saya mau kerja aja. Kalau di rumah terus malah keingetan Mac, bawaannya sedih terus."

Terjawab sudah pertanyaan Nanon. Miris, Ohm memutuskan mengalihkan pikiran dengan bekerja bahkan saat matanya tak lepas memancar kesedihan sedari awal ia datang.

"Aku ikut, Mas." Nanon tiba-tiba berucap sambil keluar persembunyiannya.

Ohm mendongak. Terpaku menatap si manis yang menyuguhkan tatapan polosnya.

"Hm." Hanya gumam mengiring anggukan yang jadi jawaban.

Nanon kecewa tentu saja. Tapi ia sadar di mana posisinya sekarang. Apa yang bisa ia harapkan setelah kecerobohannya membuat Mac meninggalkan Ohm selamanya?

KISS OF HEAVEN (OhmNanon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang