Votenya udah belom? :)
Beberapa hari terkubur penat, melalui pergantian detik demi detik tanpa sang suami yang biasanya setia di sisi, Chimon merasa begitu lelah. Hari ini inginnya ia hanya malas-malasan di rumah entah sekedar membantu mertuanya masak atau menyapu lantai. Ia sadar diri, beberapa hari belakangan pandangan tak suka selalu New layangkan tiap ia pamit bepergian.
Sialnya mual yang menyerang terus-terusan serta rasa tak nyaman di sekujur badan membuat ia memutuskan pergi untuk memeriksakan diri.
Dan di sini-lah Chimon sekarang. Masih di dalam mobil yang terparkir rapi di halaman parkir sebuah rumah sakit. Tangannya yang sudah bersiap di roda kemudi mendadak lemas melirik amplop di atas dashboard. Niatnya urung.
Kembali meremas rambutnya frustrasi, diraih amplop cokelat dengan logo rumah sakit tertera. Dibacanya sekali lagi hasil pemeriksaannya tadi, berharap sebelumnya ia hanya salah lihat atau salah baca.
Tetap tak berubah. Hasilnya tetap sama, membuat air mata Chimon jatuh berurai membasahi kertas. Beruntung air matanya tak jatuh tepat di atas tinta hitam, sehingga tulisan Positif Hamil yang tertera masih jelas terbaca.
Hamil. Satu hal yang begitu ia inginkan semenjak pernikahannya dengan Pluem. Kebahagiaan dari Tuhan yang mereka harapkan dapat melengkapi kebahagiaan rumah tangga mereka. Harusnya ia bahagia kan?
Tapi tidak jika kini bahagianya terkalah ragu. Ragu yang memberondong kewarasan Chimon sampai ingin lenyap saja rasanya. Ragu atas siapa si pemilik sperma yang kini tengah berkembang dalam tubuhnya.
Jika itu Pluem, maka Chimon akan tertawa bahagia karena punya satu alasan untuk mempertahankan hubungan mereka. Namun jika itu orang lain, ia yakin menyembunyikan kenyataannya dari Pluem bukan semudah kelihatannya.
Jemarinya bergerak, menghapus kasar air mata yang penuh membasahi wajah. "Kenapa kamu harus datang sekarang, nak?"
....
Nanon mendengus sebal melihat Ohm yang masih tertawa geli di sampingnya. Pria yang lebih tua darinya tersebut tertawa setelah Nanon secara tak langsung mengutarakan kecemburuannya pada First.
"Ishh, Mas. Jangan ketawa. Nyebelin!!" Nanon melempari Ohm dengan gumpalan kecil rumput yang sedari tadi ia mainkan di tangan.
Ohm kemudian mencoba diam. Meski kekehan kecil masih terdengar saat ia tak mampu menahan tawanya.
"Aku mau pulang aja!!"
"Eh, tunggu." Beruntung genggaman Ohm di pergelangan tangan Nanon bisa mencegah pergerakan si manis yang sudah berdiri hendak melangkah pergi.
"Apa?" Nanon menoleh sewot. "Males di sini diketawain doang." Lanjutnya.
Ohm tersenyum tampan dan menggelengkan kepala. Dengan tarikan lembut di tangan Nanon, si pria memberi kode agar Nanon kembali duduk di posisinya.
"Inget nggak saya pernah bilang kalau saya cinta sama kamu?" Pertanyaan gamblang Ohm setelah Nanon duduk kembali membuat pipi si manis berurai semu.
"H'em." Angguk Nanon teringat pengakuan Ohm ketika di apartment-nya.
"Saya terlalu terikat sama kamu, Non. Padahal kita nggak ada hubungan apa-apa. Tapi segitunya-pun saya mau. Saya rela jatuh cinta sendiri di sini. Karena kamu nggak bisa balas perasaan saya."
Obsidian jernih Ohm mengundang Nanon menatapnya dalam, menyelami kata demi kata yang ia yakin bukanlah sekedar bualan. Hatinya serasa dicubit mendengar Ohm yang salah paham atas mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISS OF HEAVEN (OhmNanon)
FanfictionTakdir membawa tajuk hubungan mereka dalam satu garis yang tak disangka-sangka. Namun bisakah mereka tetap bertahan jika rasa bersalah datang jadi dalang utama? Kisah seorang mantan artis yang terjebak situasi bersama seorang duda. Berhias bimbang...