Chapter 11

4.7K 623 99
                                    

"Aku nyari gerbongku dulu."

"Ohm.. Ohm.. hei.."

"Eh, iya kenapa?"

Chimon berdecak. Lelaki yang mengantarnya tersebut nampak terbengong sedari mereka di perjalanan.

"Aku langsung ke dalem, ya. Mau nyari gerbongnya." Pamit Chimon sekali lagi.

"Hm. Hati-hati."

Chimon mengangguk meski tahu jika kalimat hati-hati Ohm hanya sekedar formalitas belaka. Tak ada arti khusus yang terselip di sela maknanya.

Sepeninggal Chimon, Ohm sejenak larut dalam diam ditemani bising suara laju kereta yang bergesek dengan besi rel. Ya, Chimon memutuskan menggunakan kereta agar lebih cepat, seperti saat ia berangkat kemari dua hari lalu. Hal itu pula-lah yang membuat Ohm harus memutar arah ke terminal setelah ini, tempat di mana Oma Wira berkata ia harus menjemput seseorang, teman Nanon.

Dari stasiun menuju terminal butuh waktu sekitar setengah jam jika lalu lintas lancar. Coba kembali mengais fokus ke jalanan di depan, sayang pikiran Ohm sedang tak bisa diajak kerja sama.

Bukan, resahnya kali ini bukan tentang Chimon. Bukan pula tentang Mac meski rasa kehilangan pada sang bocah kesayangan masih setia mengisi ingatan. Ini tentang Nanon, pemuda asing yang beberapa waktu belakangan mengisi penuh hari-hari Ohm.

Ohm adalah sebatang kara yang tadinya hanya punya Mac sebagai keluarga sekaligus orang terdekatnya. Lalu tiba-tiba Nanon datang dengan senyum dan sapaan hangat yang ia tawarkan. Ohm mencoba sadar posisi sejauh ini. Detak tak karuan di relung dada hanya dianggap tabu karena pikirnya setiap orang yang diberi senyum semanis itu pastilah bereaksi sama. Nanon dan pesonanya, tak ada yang bisa menolak kan?

Tapi semenjak kehilangan Mac ada satu pertanyaan mengusik hari-hari si tampan. Tak dipungkiri Nanon punya andil atas kematian Mac, bukankah harusnya ia marah akan hal itu? Peduli setan masalah posisi kuli-majikan atau status kaya-miskin. Kalau sudah soal nyawa anak satu-satunya, harusnya Ohm pasang badan demi si penyebab merasakan penyesalan lebih kan?

Sayang, semua hanya angan-angan. Setelah dihadapkan pada wajah murung dan raut penyesalan Nanon, Ohm kalah. Hatinya juga sakit ketika melihat Nanon bersedih. Perasaan Ohm lebih ambil tempat kali ini dari pada akal pikiran.

Motor Vario yang ditunggangi Ohm tak harus masuk kawasan terminal terlalu dalam. Karena di samping pintu sudah dapat ia lihat mobil terparkir di sisi jalan.

Mengapa Ohm begitu yakin? Ini desa, jarang ada orang yang punya mobil semulus dan sebagus itu. Bahkan Ohm yakin mobil berwarna hitam metalic tersebut adalah keluaran terbaru dari pabrikan kenamaan.

Ohm turun dari motornya. Mendekat dan memastikan ada orang di balik kemudi. Dengan ragu, jarinya mengetuk kaca tebal di pintu mobil membuat si pengemudi yang tengah fokus menikmati musik langsung melepas headset dan menurunkan kacanya.

"Kenapa, Mas?" Tanya si pengemudi.

Dari posisinya di luar mobil dapat Ohm lihat, seraut tampan yang mengenakan kaca mata hitam. Rambut hitamnya disugar ke belakang, memperlihatkan dahi tanpa cacatnya. Belum lagi setelan kaos dan jaket mahal yang ia kenakan, khas pemuda kota yang mengagungkan penampilan.

"Ah, maaf. Ini bener temenya Nanon? Eh, Mas Nanon maksud saya." Ohm bertanya gugup. Entahlah, rasa kurang nyaman berinteraksi dengan si pria di hadapan.

"Iya, Mas. Saya temennya Nanon. Mas ini yang disuruh Oma-nya Nanon ya?"

"Iya, Mas. Saya Ohm suruhan Bu Wira buat nunjukin Mas jalan." Jelas Ohm.

Si pria tampak mengangguk. "Saya Drake. Kalau gitu kita langsung aja, Mas. Mas bawa motor kan? Atau ikut saya sekalian?"

"Saya pake motor. Nanti Mas Drake ikutin saya aja dari belakang."

KISS OF HEAVEN (OhmNanon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang