Chapter 35

4K 578 146
                                    

Vote-nya udah?










Sendirian, bersandar di bahu ranjang dengan netra tak lepas dari televisi yang menyala. Nanon masih terus memperhatikan adegan demi adegan film romantis Titanic, film yang beberapa waktu lalu ia tonton bersama dengan Ohm.

Ngomong-ngomong soal Ohm, Nanon ingat jawaban si pemuda ketika Nanon bertanya benarkah cinta yang Jake rasakan pada Rose? Waktu itu Nanon begitu naif. Berpikir jika perasaan murni antara dua orang yang berbeda kasta hanya tabu adanya. Mungkin saja kan Jake hanya mengincar harta Rose? Atau ingin naik drajat dengan mengencani si gadis bangsawan?

Tapi hari ini pandangan Nanon tak lagi sama. Menyaksikan adegan dimana Jake rela berkorban nyawa demi menyelamatkan Rose, Nanon sadar semua itu-lah yang disebut cinta. Kalau memang demi harta bukankah harusnya Jake meninggalkan Rose, membiarkan si gadis tenggelam di dinginnya lautan? Bukan malah memberikan hidupnya sendiri demi gadis yang baru dikenalnya tersebut.

"Jadi waktu Mas Ohm bilang cinta, itu beneran?" Gumam Nanon pada dirinya sendiri. Mengingat kala si pemuda menyatakan perasaan beberapa waktu lalu di apartment-nya.

Menggeleng kepala berkali, berusaha mengusir pikiran aneh yang menyerang diri. Si manis memutuskan bangkit, mengikuti langkah kaki yang membawanya ke kamar di sisi kiri, membukanya tanpa permisi.

Cklek..

"Non.."

Deg.

"Eh, Bang." Iya, Nanon sejenak lupa jika kamar ini sudah dihuni abangnya sejak ditinggal oleh Ohm.

Pluem yang sedang merebahkan diri santai kini berdiri menghampiri Nanon yang sudah akan keluar lagi.

"Ada apa?"

"Ah, nggak Bang. Aku...." Nanon menggaruk tengkuknya kebingungan mencari alasan.

"Kangen Ohm?" Abangnya bertanya jahil.

"Nggak kok, aku lagi kangen Frank aja. Makanya nggak sadar jalan ke sini."

"Ck. Kasihan Frank dong Dek, nggak tau apa-apa tapi kamu jadiin alasan." Pluem merespon dengan senyuman kecil.

"Ish, Abang ngaco deh."

"Dek, sini deh." Yang lebih tua mengajak Nanon duduk bersisian di tepi ranjang.

Nanon menurut. Bahkan kini memilih berbaring dengan paha si kakak sebagai bantalnya. Mencari nyaman.

"Kemarin Abang ngomong apa pas ngantrin Mas Ohm?" Bukan Pluem, ternyata malah Nanon yang membuka obrolan duluan.

"Rahasia, dong."

"Dih, kok gitu? Abang nggak marahin Mas Ohm kan?"

Kalimat panik Nanon malah membuat Pluem tertawa geli. "Segitu khawatirnya kamu?"

"Abaaaang ihhh .." keluar juga rengekan bayinya.

Lagi, abangnya tertawa. Butuh beberapa detik sampai tawanya reda dan kembali merespon adiknya. "Nggak Abang apa-apain kok Dek, tenang. Abang cuma bilang maaf udah ikut bikin dia nggak bahagia."

Kali ini Nanon mendongak. "Abang nggak marah sama Mas Ohm? Maksud aku, Mas Ohm kan...."

"Mantan suaminya Chimon? Itu urusan mereka, Dek. Bukan urusan Abang. Kalaupun Abang mau marah, harusnya sama Chimon. Abang yakin kok Ohm nggak tau apa-apa."

"Emang." Respon Nanon cepat. "Mas Ohm ke sini juga aku yang ngajak kok Bang. Bahkan di awal dia nggak mau lagi ngurusin soal Chimon atau masa lalunya."

"Hm. Abang tau juga karena denger perdebatan kalian kan? Nggak ada yang bongkar. Tapi semesta punya jalan sendiri biar kejujuran terbuka."

Nanon sempat diam. Mengagumi cara berpikir kakaknya yang benar-benar dewasa.

KISS OF HEAVEN (OhmNanon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang