PROLOG

523 298 689
                                    

Hai! Berjumpa lagi dengan author 👋👋
Ada yang kangen?

Ini cerita ke-empat author. Semoga cerita ini dapat menginspirasi serta memotivasi kalian ya 💞

Pastinya, jangan lupa untuk menekan tanda bintang di bawah 😍

☆☆☆☆☆
Tidak semua kebencian berakhir dengan kebencian.

~Auctor~

☆☆☆☆☆

Sebuah kamar pemilik seorang penulis terkenal itu sangatlah luas. Bahkan, kamar itu dapat dikatakan masih memiliki banyak ruangan kosong yang seharusnya bisa ditempati dua orang. Kamar bernuansa putih bersih dengan satu set sofa di sebelah kiri kasur menambah kesan elegan dari kamar itu.

Seorang perempuan terlihat sedang memegangi kepalanya dengan raut bingung. Sebelah tangannya, ia gunakan untuk memutar-mutar sebuah pena yang ia gunakan untuk menulis sedari tadi.

Salva menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk mencari inspirasi agar ia dapat melanjutkan cerita miliknya. Ia menghembuskan napasnya lelah kemudian berjalan menuju sebuah kulkas kecil yang memang sengaja ia letakkan di atas meja di kamarnya. Perempuan itu kembali mendesah ketika melihat kulkas miliknya telah kosong tak berisi.

Salva kembali berjalan menuju meja tempatnya menulis cerita. Terdengar suara menghela napas milik perempuan itu. Ia menggigit bibirnya berusaha mendapatkan inspirasi. Namun, setelah sekian menit berlalu, ia kembali menghela napasnya frustasi.

“Ke mana ide-ide yang dari kemarin aku pikirin,” gumamnya pelan.

“Fokus. Ayo fokus, Salva. Kamu pasti bisa,” ucapnya sambil memberi semangat kepada diri sendiri.

Tok-Tok-Tok!

“Va? Lo di dalam?” teriak seorang perempuan dari luar kamar.

Salva segera merapikan mejanya yang berantakan, membereskan kertas-kertas dan menumpuknya menjadi satu bagian kemudian berjalan untuk membuka pintu.

“Lo … lagi ngapain? Lama banget buka pintunya.”

“Biasa. Gue lagi selesaiin novel. Tapi, nggak dapet inspirasi. Lo ngapain ke sini?” tanya Salva kepada saudara kembarnya itu.

“Novel lagi?” Saudara kembar Salva kini sedang melakukan gerakan berpikir, “Gue hitung-hitung, ini novel ke delapan? Apa ke Sembilan ya?”

Salva tersenyum tipis menanggapi perkataan Dora, saudara kembarnya itu.

Dora menghela napasnya, ia berjalan gontai memasuki kamar Salva, “Lo beruntung banget ya. Punya bakat yang jarang dimiliki orang lain. Lah gue? Satu bakat aja nggak ada.”

Salva tersenyum kecut kemudian berjalan menghampiri Dora yang kini sudah terlentang di kasur miliknya, “Siapa bilang nggak ada? Lo bisa masak, bisa make up, bisa ngedance. Lo punya banyak bakat yang bahkan nggak gue miliki.”

“Va, kira-kira, mama lagi apa ya di atas sana?” lirih Dora sembari menatap langit-langit kamar Salva yang berhiaskan bintang.

Salva ikut menatap langit-langit kamarnya, kemudian tersenyum lebar, “Mama pasti lagi liatin kita. Gue yakin, mama pasti udah bahagia di atas.”

“Gue bisa bilang kayak gitu, karena kita di sini hidup dengan baik. Jadi, mama pasti ikut bahagia di atas,” sambung Salva.

“Va,” panggil Dora.

Salva menolehkan kepalanya, “Hmm?”

“Lo pernah penasaran nggak?”

Salva mengerutkan dahinya, “Tentang?”

“Papa kita.” Dora menghadap ke arah Salva, menatap manik mata Salva dengan dalam.

Salva mengangguk ragu, “Mungkin? Dulu, waktu kita masih kecil, gue pernah penasaran gimana wajah Papa kita. Tapi, mungkin suatu saat, kita bakalan tau.”

Dora menghela napasnya gusar, “Gue nggak bakal mau ketemu sama Papa. Gue benci banget sama dia.”

Salva menatap Dora dengan ragu-ragu setelah mendengar nada lirih dari saudaranya itu. “Lo kenapa? Gue tau kalau lo benci sama Papa. Tapi, biar bagaimana pun, dia tetap Papa kita’kan? Kita nggak boleh benci sama orang tua kita sendiri, Ra.”

“Orang tua? Gue dari lahir cuman punya Mama. Gue nggak punya Papa. Gimana bisa dia disebut orang tua setelah apa yang udah dia lakuin ke kita dulu, Va?” ucap Dora berapi-api. Perempuan itu kini mengubah posisinya menjadi duduk di tepi ranjang Salva.

Salva ikut mengubah posisinya seperti Dora, ia memeluk saudaranya dari samping, kemudian menepuk pelan bahu kembarannya itu, “Udah. Jangan dibahas lagi.”

“Kalau suatu saat nanti dia kembali, apa lo bakalan nerima dia?” tanya Dora.

Salva terdiam. Walau bagaimana pun, dia adalah ayah mereka. Tidak mungkin Salva mengusirnya nanti.

“Gue … nggak tau,” gumam Salva.

Dora menghapus air matanya kasar, “Lo benar. Walau bagaimana pun, dia tetap orang tua kita. Tapi,… sampai kapanpun gue nggak bakal anggap dia sebagai orang tua gue.”

Dora berjalan menuju pintu kamar Salva, membukanya dengan kasar, kemudian berjalan cepat tanpa menutup pintu itu.

Melihat itu, Salva kembali menghela napasnya. Entah sudah berapa kali ia menghela napas dalam satu hari. Saudaranya itu sangat sensitive jika menyangkut Papanya.

Salva berjalan menuju lemari kecil yang berada di sebelah kasurnya. Ia meraih sebuah bingkai foto, kemudian mengelus wajah mamanya yang terlihat sedang memeluk dua anak bayi. Sedari kecil, Salva mengira-ngira jika bayi itu adalah Salva, dan saudara kembarnya, Dora. Sedari kecil, Salva dan Dora diasuh oleh paman dan bibi dari keluarga mamanya.

Ketika Salva dan Dora beranjak remaja, paman dan bibinya memberikan sebuah kunci rumah peninggalan ibunya kepada Salva. Namun, hingga saat ini, Salva dan Dora tidak mengetahui bagaimana wajah ayahnya. Sebab, keluarga mamanya selalu menutup cerita tentang ayahnya itu dengan rapat.

Namun, satu hal yang membuat Salva penasaran, kenapa mereka selalu diam ketika Salva bertanya perihal ayahnya itu? Ia hanya ingin tau, apakah ayahnya masih hidup atau tidak.

Setelah Salva menginjakkan kaki di universitas, Salva telah bertekad untuk mencari keberadaan ayahnya. Tetapi, semua itu selalu terhalangi, dan hingga saat ini, Salva masih belum berhasil menemukan siapa ayah kandungnya.

Next or no?

Jangan lupa jaga kesehatan ya 🤗

Salam manis,

Sweet Chocolate.

AUCTOR [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang