Sebuah kisah yang terbentuk dari rasa iri yang akhirnya membuat manusia menghalalkan segala cara untuk mencapai kunci kesuksesan mereka.
Berawal dari Salva, seorang penulis yatim piatu yang hidup berdampingan dengan mesin akibat tragedi kecelakaan y...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
☆☆☆☆☆ Di mana-mana, garis start selalu dimulai dari angka 0 atau 1. Bukan angka seratus.
~Zaccario Casare Constanzo~ ☆☆☆☆☆
‘Awalnya, gue udah pernah nerbitin satu buku novel, dan setelah gue kecelakaan, gue pengen banget naskah terakhir gue dijadiin buku. Dan, gue ditolak berkali-kali sama penerbit mana pun. Gue heran. Mereka bahkan belum nyentuh naskah yang gue kirim. Tapi, kenapa bisa langsung ditolak?’
‘Ya udah. Akhirnya, gue berusaha nyari uang buat bangun perusahaan penerbit sendiri. Ini hasil gue sekarang. Gue bisa kayak gini, bukan cuman satu atau dua minggu. Tapi, berbulan-bulan. Dan ternyata dalam satu tahun, usaha gue makin maju. Dari sana gue percaya kalau usaha nggak bakalan ngehianatin hasil.’
‘Bisa nerbitin buku pasti impian dari semua penulis, bukan? Bahkan lo yang udah terkenal pun masih pengen nerbitin buku’kan? Karena itu, gue sediain program terbit gratis tanpa syarat apapun untuk penulis yang kekurangan biaya.’
‘Awalnya gue mikir kalau buat program kayak gitu, gue bakalan rugi besar. Tapi, ternyata gue salah besar. Dari hari ke hari, makin banyak keuntungan yang gue dapat.’
‘Gue yakin lo pasti bisa, Va. Keadaan lo bahkan jauh lebih baik dari keadaan gue dulu. Kapanpun lo butuh gue untuk nerbitin naskah lo, gue pasti bakalan bantuin lo, karena gue bisa kayak gini juga karena bantuan orang lain.’
Berbagai kalimat ucapan milik Savero terus bermunculan dalam pikiran Salva. Perempuan yang sedang terbaring di kasur ini langsung dengan cepat menegakkan tubuhnya.
“Ayo, Va. Kamu pasti bisa.” Salva bangkit kemudian berjalan menuju meja belajarnya, dan mengambil sebuah pena kemudian membuka buku yang ada di sana.
“Pr … ol … og,” bacanya sambil berusaha menuliskan kata tersebut di kertas itu.
“Ayo, Va. Semangat. Lo pasti bisa.” Salva menatap sendu tulisannya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa tulisannya sangatlah jelek saat ini. Bahkan, tulisan tersebut dapat terbilang sulit untuk dibaca.
Tanpa Salva sadari, seorang laki-laki melihatnya dari luar kamar. Zacc menatap Salva yang sedang menyemangati dirinya sendiri. Ia melihat perempuan itu yang sedang menggerakkan tangan kirinya untuk menulis beberapa kata di atas kertas.
Zacc tau, semua itu tidaklah mudah. Namun, ia sangat yakin kalau Salva pasti bisa melakukannya. Berkali-kali Zacc melihat perempuan itu membuang kertas yang dipenuhi oleh tulisan ke lantai. Hingga akhirnya sebuah kertas remuk menggelinding ke arah Zacc.
Laki-laki itu mengambil kertas tersebut kemudian memasuki kamar Salva. Ia bisa melihat bahwa perempuan itu sudah tersulut emosi saat ini. Dengan pelan, Zacc meletakkan remukan kertas itu ke hadapan Salva.
Salva menatap Zacc dengan kesal, “Lo ngapain masuk?” Terdengar nada emosi pada ucapan gadis itu.
“Semua usaha pasti ada hasil,” ucap Zacc. Salva melempar penanya dengan kasar ke atas meja. “Pasti ada hasil lo bilang? Gue udah berusaha, tapi apa? Satu kalimat pun gue nggak bisa nulis, Zacc.”
Nada frustasi terdengar jelas dari kalimat yang baru saja disebutkan oleh Salva. Perempuan itu menunduk menahan tangisnya.
Zacc menghembuskan napasnya. Ia berjalan kemudian meraih sebuah kertas kosong dan meletakkannya di hadapan Salva. “Tulis nama lo di atas kertas itu,” pinta Zacc.
Sambil menghela napas, Salva mengambil sebuah pena dengan tangan yang bergetar. Ia mencoba menuliskan namanya sendiri di kertas itu. Beberapa kali Salva mencoba, selalu kegagalan yang perempuan itu dapatkan.
Melihat itu, Zacc mengambil posisi untuk berdiri di belakang Salva, ia menggerakkan tangannya untuk menggenggam tangan kiri Salva yang bergetar. Zacc menggerakkan tangannya pelan untuk membantu Salva menuliskan namanya sendiri.
Bagi Zacc, menulis dengan tangan kiri tidaklah sulit. Sewaktu lahir, ia tidak langsung dianugrahi kemampuan untuk menulis dengan kedua tangannya. Laki-laki itu hanya dapat menulis dengan tangan kanan. Namun, sewaktu temannya, Savero mengalami hal yang mirip dengan Salva, lelaki itu belajar untuk menulis dengan tangan kiri.
“See? Lo udah hampir berhasil,” ucap Zacc masih sambil menggenggam tangan kiri Salva, menggerakkannya pelan untuk melanjutkan nama belakang perempuan itu.
“Di mana-mana, garis start selalu dimulai dari angka 0 atau 1. Bukan angka seratus.”
Salva menahan napasnya saat mendengar ucapan Zacc yang tepat di telinganya. Posisinya saat ini dapat terbilang sangat dekat dengan laki-laki itu. Bahkan Salva dapat merasakan wangi tubuh milik Zacc.
Salva terus memperhatikan tangan kirinya yang digenggam oleh Zacc. Salva berharap bahwa laki-laki itu tidak dapat mendengar degup jantung Salva yang cukup keras saat ini.
“Relax, tenang. Lo nggak perlu gemetaran kayak gitu. Awal-awal pasti susah, tapi lama-lama gue yakin pasti bisa.”
Gue gemetaran karena lo, Zacc. Ngapain juga dia ngomong sepanjang itu. Ya ampun, batin Salva.
“Coba lo tulis nama lo sendiri sekarang,” perintah Zacc kemudian menjauhkan tubuhnya dari Salva membuat perempuan itu menghembuskan napasnya lega.
“Lo kepanasan?” tanya Zacc lagi.
“Hah? Nggak.” Salva menetralkan degup jantungnya. Ruangan ini menjadi sangat panas baginya. Padahal, ia yakin sudah menghidupkan AC tadi.
Salva dengan perlahan mencoba untuk menulis namanya sendiri. Tulisannya sudah jauh lebih bagus saat ini. Ia tersenyum dengan bangga kemudian menunjukkan ke arah Zacc.
Zacc terlihat mengangguk, “Coba lo tulis nama gue.” Zacc menunduk lagi mendekat ke arah Salva membuat perempuan itu kembali menahan napasnya. Lelaki itu kemudian menuliskan namanya sendiri dan menyuruh Salva untuk menirunya.
Perasaan gugup menjalar di tubuh Salva. “Gu-gue panas,” ucap Salva gugup kemudian mendorong tubuh Zacc menjauh darinya.
Perempuan itu sangat yakin bahwa dirinya tidak akan bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama apabila laki-laki itu berada di posisi yang begitu dekat dengannya.
Setelah itu, Salva langsung mencoba menuliskan nama Zacc. Terasa sangat beda saat menulis nama lelaki itu. Mungkin dirinya belum terbiasa untuk menulis nama selain namanya sendiri.
Melihat itu, Zacc kembali mendekatkan tubuhnya dan kembali menggenggam tangan Salva mengajarinya untuk menulis nama miliknya.
Kaget. Itulah yang dirasakan oleh Salva. Namun, ia cepat-cepat mengembalikan ekspresi normalnya. Keringat mulai mengucur membasahi pelipis perempuan tersebut. Melihat tangannya yang terus digenggam oleh Zacc, tanpa sadar Salva mengembangkan senyumannya.
“Bisa’kan? Nanti lo coba tulis sendiri ya,” ucap Zacc sambil mengacak pelan rambut Salva kemudian berjalan keluar meninggalkan Salva yang mematung di tempat.
Salva tersadar oleh suara pintu yang ditutup oleh Zacc.