Hari ini adalah hari pertama jaemin masuk disekolah barunya. Anak berusia sepuluh tahun itu tak merasakan apapun, harinya tak ada yang istimewa.
Hanya di mulai dari perkenalan singkat dan belajar sebagaimana mestinya, kemudian makan di kantin setelah itu kembali ke kelas.
Mencari teman bukan keahliannya, bocah itu bahkan hanya membalas sapaan tanpa ada minat menyapa lebih dulu. Selalu seperti itu.
Mungkin sebelumnya bocah manis ini tidak semenyedihkan sekarang, setidaknya meski tak ada teman, dia masih memiliki sosok lain dari dirinya yang selalu bersama kemanapun.
Sayangnya itu dulu, dan sekarang ia harus belajar beradaptasi sendirian. Baiklah, mungkin kedepannya tidak akan seburuk ini.
Pulang sekolah, jaemin pulang dengan menaiki bis menuju apartemen tempatnya tinggal bersama sang ibu. Mereka baru pindah dua hari yang lalu.
Tak berbeda dengan disekolah, sampai saat ini jaemin tak mengenal siapa pun penghuni gedung ini, meski tak sedikit orang seusianya. Ia hanya melenggang begitu saja melewati kumpulan anak anak di lobi.
Jaemin memang tidak pandai mencari teman, tapi jaemin bukan orang yang tidak ingin punya teman. Dia hanya merasa malu untuk memulai, dan takut jika jaemin mendekati lebih dulu tapi mereka malah menjauh dan enggan berteman dengannya.
Astaga entah dari mana anak itu mendapatkan pikiran negatif seperti ini.
Rasa canggung menyelimutinya saat ia berada di dalam lift, awalnya di sana ada beberapa orang, namun mereka sudah keluar dan menyisakan dirinya bersama seorang gadis seusianya, kebetulan mereka menuju lantai yang sama yaitu lantai 10.
Hening beberapa saat sampai suara isakan kecil terdengar dan membuat jaemin refleks menoleh. Hal yang ia dapati adalah gadis disampingnya yang menangis.
"Hei, a-aku tidak melakukan apa-apa, ke-kenapa kau menangis?" Tanya jaemin panik, anak itu bergerak dengan gelisah. Ia mendongak melihat angka yang masih menunjukkan angka 7, masih ada 3 lantai untuk sampai ke atas.
Dan jaemin semakin panik saat tiba tiba guncangan kecil terasa, lift nya tiba tiba rusak, dan lampunya mati.
Jangankan gadis disampingnya, dirinya Bahkan takut jika harus dihadapkan dengan situasi seperti ini.
"Mama" gumamnya, sementara gadis itu semakin terisak.
Jaemin mengabaikannya, ia menggedor gedor pintu lift, ia panik sungguh "TOLONG, APA ADA ORANG DI SANA??! TOLONG KAMI, LIFTNYA RUSAK" teriaknya, suaranya terdengar bergetar, jaemin tengah menahan tangis.
"NAK?! KAU SENDIRI?"
""T-TIDAK, KAMI BERDUA, P-PAMAN T-TOLONG KAMI"
"BERTAHANLAH, KAMI AKAN SEGERA MEMPERBAIKINYA, KAU MEMBAWA PONSEL? NYALAKAN SENTERNYA"
Jaemin mengangguk meski ia tahu orang di luar sana tidak akan malihat, ia kemudian mengeluarkan ponselnya lantas menyalakan senter. Anak itu semakin gelisah saat gadis tadi malah semakin terisak.
"Hei, a-aku juga takut, berhentilah menangis"
"Maaf" ucap gadis itu akhirnya sembari meluruhkan dirinya untuk duduk.
Jaemin juga melakukan hal yang sama, ia mendudukkan dirinya disamping gadis itu "tidak, kenapa minta maaf? Aku hanya panik saja lihat kamu menangis" ucapnya berusaha tenang.
Dalam hati ia terus menekankan pada dirinya 'jaemin anak laki-laki, tidak boleh cengeng apalagi didepan perempuan' itu bukan kata katanya, tapi mungkin itu ada benarnya.
"Maaf aku tidak bisa menahannya, apa kau terganggu?"
Jaemin menggeleng "tidak, hanya aku takut orang lain menyalahkan ku"
KAMU SEDANG MEMBACA
Psychometric • Jaemin (ft. Jeno Winter)
FanfictionIni tentang Jaemin, seorang remaja SMA dengan keahlian khususnya yang di sebut psychometric. Dengan indra perabanya, dia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dari sebuah kontak fisik langsung. Ini tentang usahanya dalam mencari kebenaran, mengguna...