18

489 58 39
                                    

Jaemin akhirnya memutuskan untuk mengalah pada keadaan, mengesampingkan egonya dan berdamai dengan luka yang selama ini menyiksa relung hatinya.

Berhenti mengelak, dan menerima Jeno sepertinya tidak membuat Jaemin rugi. Justru dengan begitu, Jaemin kini memiliki Jeno yang bisa ia panggil kapanpun dia mau. Maksudnya, setidaknya ia memiliki keluarga yang tidak akan sungkan untuk ia repotkan.

Sebab, sedekat apapun ia dengan winter dan kakaknya, atau sedekat apapun dia dengan Taeyong majikannya. Tetap saja mereka adalah orang lain di hidupnya, tentu jaemin memiliki rasa sungkan untuk meminta bantuan terus menerus.

Berhubung kata Jeno dia akan selalu ada buat Jaemin dan bersedia menemani Jaemin dalam setiap langkah yang akan Jaemin ambil. Maka jaemin anggap jeno telah menawarkan diri untuk jadi babu nya Jaemin. Jaemin menyunggingkan senyum penuh arti saat memikirkannya.

Lihat saja, Jaemin sangat pintar menggunakan kesempatan dalam kesempitan.

Setelah menumpahkan semua tangis siang ini, di bawah rintikan hujan salju yang berjatuhan menghantam bumi, keduanya baru beranjak turun bersamaan dengan suara bel tanda pulang menggema.

Tangis mereka memang sudah mereda satu jam sebelumnya, hanya saja mendapati masing masing wajah yang sembab, mata bengkak dan hidung memerah membuat mereka enggan turun.

Sepasang anak kembar itu berjalan bersisian menuju kelas untuk mengambil tas, sudah tak peduli kalau kalau ketahuan guru bk dan berakhir mendapat hukuman karena membolos. Toh hal itu bukan masalah besar buat jaemin, dan untuk kali pertamanya jeno pun merasa tak keberatan untuk hal itu.

Sesampainya di kelas, rupanya masih banyak teman kelas mereka yang belum keluar. Entah yang sedang melaksanakan piket, ataupun yang memang masih betah di kelas.

Termasuk winter, gadis itu nampak belum beranjak dari tempat duduknya. Terdiam menatap lurus pada papan tulis. Gadis itu melamun.

Melihat itu jaemin menarik sebuah senyum jahil, mendekati sang sahabat lantas tanpa aba aba menggebrak meja di hadapan winter.

"LEE JAEMIN!!" Pekik winter terkejut,  matanya melotot marah pada jaemin yang justru tergelak.

"Siapa suruh bengong, orang orang udah pada balik tuh" ujar jaemin membuat winter mengedarkan pandangannya, menemukan jika kelas memang sudah lenggang.

Winter berdecak sebal, sejak pulang dari kantin dia memang kehilangan fokusnya, beberapa kali ia larut dalam lamunan sampai tidak sadar pada keadaan sekitar.

Jaemin yang melihat winter kembali melamun pun menghela nafasnya, pemuda itu menjentikkan jarinya di depan wajah winter, memaksa gadis itu untuk keluar dari lamunannya.

"Berhenti mikirin yang gak perlu lo pikirin" titahnya.

Di sampingnya, Jeno yang sedari tadi menyimak ikut mengangguk, setuju dengan penuturan yang adiknya itu lontarkan.

"Gue gak mikirin yang gak perlu gue pikirin tuh" elak winter lantas beralih merapikan alat tulisnya, memasukan benda benda itu ke dalam tas dengan rapi.

Sementara jaemin hanya mengangguk saja,  mengiyakan apa yang winter ucapkan. Toh hal itu tidak akan bertahan lama, Jaemin selalu punya cara agar winter tidak menyembunyikan apapun darinya.

"Ayok cabut" celetuk Jeno seraya menyerahkan melempar tas Jaemin pada pemiliknya yang jaemin tangkap dengan baik.

"Jangan mentang-mentang gue gak pernah bawa buku lo bisa seenak jidat lempar tas gue ya sat!!" Omelnya tak terima. Sedang jeno hanya cekikikan mendengarnya.

"Gue lapar, makan ramen di toserba enak nie kayaknya, ya gak sih win?"

Winter otomatis menoleh pada jeno, mengangguk saja ketika namanya di sebut sebut. Sejujurnya winter masih bertanya-tanya, apakah jaemin dan jeno sudah menyelesaikan masalahnya? Tapi melihat bagaimana Jaemin tidak acuh lagi pada jeno, winter merasa hubungan mereka memang lebih baik.

Psychometric • Jaemin (ft. Jeno Winter)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang