Napasnya di tahan sedemikian rupa agar tidak mengeluarkan suara, tubuhnya semakin ia rapatkan pada pembatas gang sempit itu. Pandanganya ia fokuskan pada bayangan dijalan yang tersorot lampu jalan dari atas.
Dalam hati jaemin mengumpati mereka yang datang tidak tepat waktu, kalau saja ia sedang dalam mood baik, dan bersemangat, sudah pasti jaemin tidak akan lari, yang ada malah mereka yang lari terbirit-birit.
"Sialan banget tu anak, liat aja besok"
Setelah bayangan tiga orang itu benar benar hilang juga suara langkah yang sudah tidak terdengar lagi, jaemin menghela nafasnya lega. Ia mengusap dadanya yang masih naik turun tak beraturan karena tadi ia lari cukup jauh.
Dirasa sudah sudah lebih baik, jaemin pun keluar dari gang sempit itu dengan sebuah seringai nampak dari bibir tipisnya.
"Tahu banget kayaknya kalok gue lagi cupu" jaemin berdecih lantas membawa langkahnya berlawanan arah dengan para pengecut itu.
Tentu saja pengecut, jaemin sendiri dan mereka bertiga bahkan kadang berenam, sangat jelas kalah jumlah tapi yang kalah bertarung malah mereka. Bonyok memang tidak bisa jaemin hindari, tapi yang kabur lebih dulu jaemin anggap mereka kalah apapun alasannya.
Jaemin terus melangkah sekalipun masih tertatih, karena bengkak di pergelangan kakinya malah semakin menjadi akibat ia pakai untuk berlari. Beruntung gedung tempatnya tinggal tidak begitu jauh, hanya butuh sepuluh menit dengan langkahnya sekarang ia sudah sampai di gedung itu.
Tepat dirinya memasuki lift, getar di ponselnya membuat ia mau tidak mau meraih benda pipih itu, nampak nama winter tertera dilayar.
"Lo udah balik belum?" Suara gadis itu terdengar parau, khas orang bangun yang masih setengah sadar.
Jaemin mendesah malas "udah, lagi di lift" katanya membalas pertanyaan yang selalu di tanyakan ketika tengah malam. Ini kebiasaan baru winter yang rutin dikerjakan sejak kejadian itu, sekalipun gadis itu tidur lebih awal namun tepat tengah malam dia selalu menyempatkan diri untuk bangun hanya untuk sekedar menanyakan jaemin telah pulang apa belum.
"Oke"
Dan seperti yang sudah sudah, jika jaemin telah pulang, gadis itu hanya akan mengiyakan kemudian melanjutkan tidurnya. Beda cerita kalau jaemin tengah malam belum pulang, bisa di pastikan pekikan dan segala rentetan omelan akan gadis itu layangkan, kadang jika malas mendengarkan, jaemin akan membiarkan panggilan tetap tersambung dengan ponsel yang ia kantongi. Dia abaikan sampai winter lelah sendiri dan memutuskan panggilannya.
Lantai sepuluh unit 105, tentu saja belum berubah. Jaemin tidak akan mampu membeli rumah jika tidak tinggal di apartemen yang besarnya pas-pasan ini.
Setelah menekan beberapa angka, pintu pun akhirnya bisa ia buka, kakinya melangkah masuk dengan santai, setelah membuka sepatu dan menggantinya dengan sendal rumah. Jaemin diam sejenak, mengamati rumahnya yang memang senantiasa sepi.
"Jeno-ya" panggilnya sembari berjalan masuk. Pemuda itu mendengus karena tidak mendapatkan balasan apapun, setelah celingak celinguk dan tidak menemukan yang di cari, jaemin kembali melangkahkan kakinya ke arah pintu.
Keluar sebelum akhirnya berhenti di depan pintu unit 106, tepat di samping unitnya. Kemudian tanganya terangkat menakan bel dengan tempo cepat, berusaha menggangu penghuni unit tersebut. Sampai kemudian pintu pun terbuka, menampilkan seorang lelaki dengan wajah tertekuk kesal.
"Jangan sok sopan lah anjirr, biasanya juga maen nyelonong aja" ketus lelaki itu.
Jaemin tergelak "kan sengaja biar ganggu, Jeno disini 'kan?" Tanyanya tanpa merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Psychometric • Jaemin (ft. Jeno Winter)
FanfictionIni tentang Jaemin, seorang remaja SMA dengan keahlian khususnya yang di sebut psychometric. Dengan indra perabanya, dia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dari sebuah kontak fisik langsung. Ini tentang usahanya dalam mencari kebenaran, mengguna...