Perawat yang bertugas baru melepaskan masker oksigen yang melingkupi wajah Pangeran dua jam kemudian. Wajah pucat yang memejam damai tersebut sama sekali tidak menyisakan raut tersiksanya. Dadanya naik turun seirama dengan tarikan napasnya yang teratur.
Perawat yang mendampingi baru selesai melepas tensimeter di lengan kiri Pangeran untuk mengecek kembali tekanan darahnya yang sempat melonjak di awal-awal terapi.
Ranjang besar dengan fasilitas medis lengkap di kanan dan kirinya tampak hening selain suara oximeter dan monitor defibrilator detak jantung Pangeran. Tirai sewarna gading sengaja di tutup, melingkari ranjang dimana tubuh Pangeran berbaring lemah.
Tidak jauh dari tempat pembaringan tersebut, tepatnya di sisi ruangan yang lain Anna duduk dengan pikiran gelisah. Rena duduk di set sofa dihadapannya. Keheningan menyelimuti keduanya setelah apa yang dijelaskan oleh Rena.
"Jika aku tidak memasang cctv di ruangan ini pasti kamu akan tetap memilih diam"
Rena tetap dengan raut datarnya, jelas sekali tidak merasa menyesal "maafkan saya"
Anna terkekeh dengan jenis tawa yang membuat siapapun tahu kalau dirinya sedang merasa sangat muak. "Tidak ada pembelaan apapun?"
"Saya melakukan ini demi kebaikan Nona. Kalau sampai ingatan Pangeran kembali maka Nona bisa saja mendapatkan masalah serius. Lelaki itu-" Rena melirik sekat tirai yang tertutup, "bisa saja melaporkan Nona"
"Lucu sekali... aku sungguh ingin tertawa mendengarnya"
Rena gelisah tetapi berusaha keras menyembunyikannya. Bagaimanapun dirinya harus tenang agar tak meninggalkan kecurigaan. "Dia percaya kepada Nona karena kehilangan ingatannya, tetapi kalau ingatannya pulih bukannya tidak mungkin dia akan membenci Nona"
"Memangnya kamu siapa?" Anna menatap Rena dengan pandangan rendah. "Kamu hanya sekretsris pribadiku. Kamu tidak lebih dari bawahanku, dan berani-beraninya kamu memutuskan hal seperti ini tanpa persetujuanku?"
Bibir Rena bungkam. Satu lagi kelebihan Anna selain wajahnya yang luar biasa jelita adalah kalimat yang tidak ragu menyakiti siapapun. Kedua tangan Rena saling terkepal di sisi tubuh, ini adalah penghinaan yang tidak akan pernah dirinya lupakan.
"Pangeran adalah urusanku, kamu sama sekali tidak dalam ranah memutuskan apapun. Kamu bukan siapa-siapa dan ingat posisimu"
"Maafkan saya"
Anna meghela napas panjang. Kerah model sabrina dari kemeja yang digunakannya serasa mencekik. Amarahnya masih mengudara menyaksikan sendiri bagaimana perlakuan Rena kepada Pangeran.
Rontaan tubuh Pangeran yang disaksikannya melalui rekaman cctv membuatnya merasa tidak terima. Rena memang tidak tahu menahu perihal cctv yang dipasangnya mengingat kejadian Dokter Andreas yang sampai berakibat Pangeran kembali masuk ICU.
"Aku menghargai niat baikmu melindungi posisiku, tetapi tindakan ini tetap tidak bisa kumaafkan begitu saja." Anna mengetukan jari tangannya memikirkan keputusan yang akan diambilnya. Tanpa sepengetahuannya, Rena meminta perawat secara berkala memberikan terapi oksigen yang nyatanya adalah suatu gas yang bisa berefek ekstaksi.
Dampaknya jangka panjang, selain bisa mengacaukan fokus obyeknya. Gas beracun tersebut bisa membuat sel-sel saraf pusat mengalami kemunduran secara bertahap. Lagi-lagi Anna mengerang mengetahui fakta berbahayanya gas tersebut.
"Kamu sudah membahayakan nyawa Pangeran dan itu jelas kesalahan yang tidak bisa kumaafkan."
Rena tetap diam.
"Lebih baik kamu pergi dan jangan pernah muncul dihadapanku lagi"
Kepalan tangan Rena mengerat. Kedua matanya memerah menatap Anna.
