[22]

2.7K 71 12
                                    

Anna baru saja selesai mewashlap badan Pangeran dan menggantikan dengan pakaian yang bersih. Pangeran sempat terbangun beberapa saat dan kini tertidur kembali karena masih begitu lemah.

Perawat yang mendampingi segera menerima wadah air hangat beserta handuk kecil yang digunakan dan membawanya untuk dibersihkan. Anna menarik selimut hingga batas pinggang dan menyematkan ciuman di pipi sebelum beranjak ke sofa duduk.

Ada Rena yang menatapnya dengan cemas disana.

"Ada apa datang kemari?" Tanya Anna dengan angkuh setelah mengambil duduk diseberang Rena

Alih-alih menjawab, mantan sekretarisnya tersebut menundukan wajah dan bersimpuh di lantai, di kaki Anna.
"Suamiku... suamiku pergi dan sampai sekarang belum juga kembali. Tolong.... tolong Nona..."

Anna tersenyum sinis. "Masih punya muka kamu mendatangi saya?"

"Tolong saya Nona... hanya Nona yang bisa menolong saya. Saya... saya..." Rena kesulitan menyelesaikan kalimatnya. Maharani dipenjara dan sekarang suaminya menghilang, dirinya benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Anna memandang datar pada mantan orang kepercayaannya tersebut dan membiarkan Rena tetap bersimpuh di kakinya. Ada sedikit rasa kasihan mengingat waktu yang mereka berdua habiskan bersama.

Anna meraih telepon di meja samping sofa. Telepon tersebut langsung terhubung ke salah satu divisi dari bagian rumah sakit dan Anna hanya menanyakan pekerjaan yang diberikannya apakah sudah beres atau belum.

Saat akhirnya Anna memerintahkan untuk membawa seseorang tersebut, barulah Rena terbelalak menyadari siapa yang mantan atasannya maksudkan. Suaminya.

"Kamu akan bertemu dengannya, sekaligus menjadi satu-satunya bagi suamimu. Bukankah ini yang selama ini kamu inginkan? Kamu bahkan mengkhianatiku demi untuk memilikinya"

"Nona..."

"Aku masih menghargai pengabdianmu kepadaku, dan sampai saat aku memiliki Pangeran sebagai kebahagiaanku maka kamu pun akan memilikinya sebagai kebahagiaanmu. Aku harap kita tidak perlu bertemu lagi setelah ini" Anna mengatakannya dengan keseriusan. Dirinya benci penghianatan dan sekali berhianat maka selamanya penghianat

"Terimakasih Nona..." Rena menunukan kepala dan sekarang benar-benar mencium kaki Anna yang terbalut selop rumah sakit

Anna diam saja membiarkan. Hatinya merasa puas saat orang yang menghianatinya dan bersikap sombong meninggikan kepala dihadapannya kini memilih tempat dikakinya. Seharusnya memang seperti itu.

Tok... tok... tok...
Suara ketukan ringan dan disusul dengan masuknya seorang lelaki bersneli yang mendorong sebuah kursi roda dengan Wibisana terduduk linglung diatasnya.

Rena segera bangkit dengan pandangan berkaca-kaca menatap suaminya yang menghilang sejak hari dimana Maharani dipenjarakan. Rena sudah mencari kesemua tempat dan mengerahkan anak buah yang tersisa tetapi tetap tidak menemukan jejak Wibisana.

"Apa semuanya beres Dokter Irawan?" Anna tersenyum menyambut salah satu Dokter seniornya tersebut

Dokter Irawan mengangguk. Setelahnya memasang kuncian pada kursi roda dan beralih mengangkat lengan Wibisana untuk dituntunnya berdiri.

Wibisana tampak kebingungan tetapi menurut ketika diminta berdiri. Pijakan lelaki tersebut tampak tidak stabil dan sesekali miring ke kiri atau ke kanan.

"Kita di- mana?" Suara serak Wibisana berhasil meloloskan isakan Rena

"Melvin?" Anna memanggil dan barulah fokus Wibisana teralih kepada Anna

Kening lelaki tersebut mengerut dalam. Pandangannya menyapu sekeliling dan barulah sadar bahwa dialah yang dimaksud oleh wanita cantik dihadapannya.
"Ya?" Jawabnya sedikit ragu.

Memories [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang