Aku mulai terbiasa dengan semua kegiatan rutin di tempat ini. Berlari dari satu kelas ke kelas lainnya. Turun dari kamarku di lantai tiga menuju kelas pertama di gedung pertemuan lantai dua, lalu naik lagi ke lantai lima untuk makan siang.
Begitu pula terbiasa dengan Darius yang masih menggangguku dan mata-mata temannya yang menganggapku remeh. Tentu saja mereka tak akan pernah berhenti, jagoan menindas yang lemah—keturunan menganggap orang baru hanya sampah. Aku target terbaik di tempat ini.
Setelah makan siang aku turun menuju kelas lain di lantai dua. Aku menoleh ke luar jendela sebelum berjalan menuju kelas berikutnya. Cuaca di luar berkabut, lapisan awan tebal seperti kapas kotor menggumpal menutupi matahari yang harusnya berada di atas hutan membuat hutan terlihat lebih muram dari biasanya. Satu-satunya orang yang semangat menikmati hari ini adalah Ashley.
Seminggu yang lalu ibunya mengirimkan sebuah paket berisi dua mantel baru dan satu sweter rajutan tangan berwarna marun untuknya. Sampai hari kemarin udara masih hangat hingga memakai semua pakaian itu tentu saja sangat berlebihan. Hari ini setidaknya suhu turun beberapa derajat dan betapa bergembiranya ia setelah menemukan alasan untuk memakai semua pakaian barunya. Ia berputar-putar di depanku, menaikkan kerah tinggi sweternya sampai ke mulut lalu menurunkannya kembali.
Aku sedikit iri pada ibunya. Bukan karena aku tidak punya ibu atau karena Susan tidak mengirimiku hal yang ibunya kirimkan, tapi karena ibunya tahu apa yang anaknya sedang lakukan di tempat ini. Susan bahkan tak pernah tahu ia mengirimku ke neraka macam apa untuk melakukan apa.
"Cuaca yang bagus anak baru?" ujar Darius sambil berjalan menuju lift terbuka bersama sekelompok kawanan bodoh yang mengekorinya.
"Kau masih di sini?" balas Ashley mewakiliku. "Bukankah sudah saatnya kau mengumpulkan camilan untuk bekal hibernasimu?"
Darius berhenti berjalan, ia berdiri tepat di hadapan kami lalu mendongak dengan angkuh. "Kalian mau jadi camilanku?"
"Coba saja jika kau bisa," tantang Ashley maju selangkah balas mendongakkan kepalanya.
Darius terlihat diam sejenak tapi tatapannya masih mengintimidasi. Ucapan Ashley tentang pemilik bakat ganda adalah manusia paling unggul ternyata benar. Ash punya nilai dynamesa lebih tinggi dari Darius. Meski kemampuan mereka sama-sama alami dan milik Darius lebih terlatih, Ash punya ekstra sensori yang dapat menggandakan nilai dynamesanya. Kuatnya kemampuan memang diukur dari bagaimana pemilik kemampuan menggunakannya, namun nilai tinggi setidaknya cukup untuk membuat Darius berpikir dua kali sebelum meyentuhnya.
"Bukan aku tak ingin, tapi aku bukan vegetarian." Darius menampilkan raut menyesal yang benar-benar tidak tulus seraya menurunkan bahunya. "Maaf saja, Ash. Aroma daun busukmu tidak membuatku berselera."
Ashley menggeram, ia maju untuk mencondongkan tubuhnya―entah apa yang hendak ia lakukan. Aku menarik ujung lengan bajunya dan memberikannya tatapan memohon agar Ashley diam. Kurasa itu berhasil, Ashley tak lagi membalas. Ia mengatupkan rahangnya, mengambil napas dengan hidungnya secara teratur lalu tenang kembali.
Darius dan keempat temannya masuk ke dalam lift dan kami berdua memutuskan untuk menunggu yang berikutnya. Aku bisa melihat tawa kemenangan Issac, Ned, Olivia dan Cassandra sesaat sebelum pintu lift tertutup.
Lee tidak lagi bergabung dengan mereka, mengejutkan. Menurut Ashley kedua auranya merah—aura yang khas dimiliki para pemimpin. Jelas saja salah satu harus pergi karena dua alpha tidak bisa bersatu. Lee kini berkumpul dengan si kembar Mason dan Madison membuat grup baru yang lebih terkesan seperti kelompok pemuja sekte sesat.
"Andai saja hari ini tidak ada kelas, aku pasti sudah menyeret mereka dengan akar-akarku dan menggantung mereka di atas pohon ek di depan. Aku tidak akan menurunkan mereka sampai mereka memohon." Ashley menatap punggung-punggung yang mulai menjauh itu dengan matanya yang berkilat-kilat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Descent
Science FictionClary Hart, gadis 16 tahun yang kehilangan ingatannya setelah mengalami kecelakaan misterius mengikuti tes sekolah lanjutan yang diselenggarakan pemerintah. Saat ia merasa gagal dan putus asa karena kondisi mental pasca traumanya, tanpa diduga-duga...