Orang-orang di lapangan sudah berkumpul menunggu kami. Atau lebih tepatnya, menunggu untuk mengetahui tentang apa yang terjadi pada Natalie.
Semua siswa junior dan senior perlahan mengarahkan tatapannya bergantian pada Luke dan Alex yang baru saja kembali setelah membawa masuk Nat ke dalam sebuah mobil kesehatan, lalu menatap Edmund yang tentu saja tidak mungkin balas menatap mereka satu-satu. Pada akhirnya mereka menyerah dan menghentikan tatapannya ke arahku. Alis mereka terangkat mengisyaratkan sebuah pertanyaan 'mengapa' dan aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban 'tidak tahu'ku.
James membubarkan barisan ketika aku dan Edmund baru saja keluar dari hutan, lalu menuntun kami semua masuk ke dalam bus. Ashley mengosongkan satu tempat dekat jendela untukku. Aku tidak mengharapkan jeritan histeris sebagai respon dari semua orang saat melihat tubuh Natalie terkulai lemas seperti tadi, hanya saja, reaksi mereka terlalu santai. Rasa penasaran mereka berakhir dengan cepat seperti lilin yang baru saja tertiup angin, padam dalam sekejap.
"Kau baik-baik saja?" Ashley menaikkan kepalanya sesaat setelah melihatku masuk. Ia bertanya dengan nada melengkingnya yang khas.
"Aku baik-baik saja." Bukan aku yang jatuh pingsan kali ini. Aku menghela napas panjang, mengingat kembali tubuh Natalie yang membeku membuatku merinding ngeri.
"Aku tidak mengerti kenapa Natalie bisa sebodoh itu." Ashley mendengus.
"Bodoh?"
Ia mengangguk-anggukan kepalanya. "Katanya, Natalie pergi sendiri setelah bertengkar dengan anggota kelompoknya. Kau tahu, orang-orang di kelompok empat cukup sulit diatur. Dia mungkin tersesat, kelelahan lalu terjatuh sampai pingsan."
"Kau tahu dari mana?"
"Dari semua anggotanya," jawabnya cuek. "Sebelum kau menemukan Natalie, kelompok empat sudah keluar dari permainan dan melaporkan kehilangannya."
"Kelompok empat menyelesaikan permainan?" Aku sadar aku lupa mengecek smartwatchku.
Ashley mengangguk cepat. "Lee mengumpulkan tiga bendera langsung dalam waktu yang sangat singkat."
"Kurasa Natalie bukan bersikap bodoh." Aku melemaskan bahuku dan merosot di atas kursiku. "Ia hanya putus asa."
"Terserah, sih," Ashley mengedikkan bahu, ia menatap keluar jendela dengan air wajah yang sudah tak lagi acuh. "Orang-orang dengan bakat alami yang hebat memang suka egois seperti itu."
"Kau juga?"
"Aku pengecualian." Ashley berbisik di telingaku. "Kemampuan alamiku tidak berada pada level yang membuatku harus seegois itu."
Ashley berhenti menatapku lalu dengan cepat tatapannya beralih pada jaketku yang kebesaran. Kelegaannya berubah menjadi sebuah kernyitan curiga setelah ia melihat Edmund masuk dengan hanya mengenakan kaus hitamnya. Jaketku yang masih tergantung di sebelah lenganku diam-diam kujejalkan ke bawah jokku.
"Bukan seperti yang kau pikirkan," aku mengerling berbalik menatap ke luar jendela, membuat Ashley yang mengangkat alisnya kembali merengut.
"Aku tidak memikirkan apa-apa," balasnya melingkarkan lengannya ke lenganku lalu memejamkan mata dengan kepala bersandar di salah satu bahuku. "Syukurlah kau tidak terluka kali ini. Aku tidak tahu kenapa kau begitu mudah bertemu dengan bahaya."
"Kali ini luka emosionalku lebih parah."
Aku menaikkan resleting jaket Edmund dan menarik kerahnya sampai menutupi setengah wajahku, aroma tubuhnya yang segar—bukan aroma yang berasal dari kolonye—menyeruak seketika ke dalam hidungku. Memikirkan bagaimana aku tanpa malu melepaskan jaketku di depannya dan memungut jaketnya tanpa sedikit pun bersikap ramah padanya adalah kesalahan yang sangat fatal. Membuatku ingin menghilang dan tidak pernah muncul di hadapannya lagi, kalau perlu selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Descent
Science FictionClary Hart, gadis 16 tahun yang kehilangan ingatannya setelah mengalami kecelakaan misterius mengikuti tes sekolah lanjutan yang diselenggarakan pemerintah. Saat ia merasa gagal dan putus asa karena kondisi mental pasca traumanya, tanpa diduga-duga...